• Tanggung Jawab Manusia Sebagai Khalifah

    Alam semesta demikian besamya. Siapakah yang menghuni? Apakah hanya manusia saja. Ataukah ada makhluk lain. Sampai sekarang ilmu Astrobiologi belum menemukan data-data yang signifikan. Semuanya, baru pada tingkat dugaan dan asumsi-asumsi. Karena itu, agaknya kita belum bisa bersandar pada data data empirik untuk membahas tentang penghuni alam semesta ini. Meskipun, baru baru ini NASA telah memperoleh data adanya air di Mars lewat pesawat tidak berawaknya. Akan tetapi semua itu masih jauh dari memadai untuk mengatakan di sana ada kehidupan. Untuk itu, akan lebih baik jika kita mendasarkan pembahasan kita pada informasi dari Al Quran. Di dalam Al Quran, makhluk ciptaan Allah disebut hanya ada 6 macam, yang 3 berakal, dan 3 lainnya tidak yaitu : malaikat, jin, manusia, binatang, tanaman, dan benda mati.

    Kelebihan Manusia dengan Makhluk Lainnya.

    Manusia adalah makhluk bermoral dan mempunyai tanggung jawab. Tanggung jawab merupakan kesadaran manusia untuk memenuhi kewajiban dan pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apa bedanya seekor kera dengan manusia? Apa bedanya seekor harimau dengan seorang manusia? Apa bedanya seekor anjing dengan seorang manusia meski makhluk hidup mereka sama-sama makan, minum, berkembang biak, dapat sakit, dan mati tetapi mereka sungguh berbeda jauh seekor kera bila lapar dan melihat buah pisang, akan langsung mengambil pisang itu dan memakannya. Seekor harimau bila marah akan langsung menerkam musuhnya dan seekor anjing bila sedang bernafsu birahi akan langsung mengejar ajing yang betina dan mengawininya sedangkan manusia tidak. Manusia meski ia lapar, ia dapat menahan diri tidak langsung mengambil makanan yang ada didepannya. Meski ia marah, ia dapat menahan diri dan tidak langsung melampiaskan kemarahan, dan jika ia sedang bernafsu ia dapat menahan atau tidak langsung menyalurkan birahinya. Itulah kelebihan kita terhadap makhluk ciptaan Allah lainnya. Sebagai manusia kita pasti memiliki tanggung jawab dan tidak hidup berdasarkan kamauan sendiri. Kita pasti bertumpu pada suatu pandangan hidup.

    Tanggung Jawab Manusia Sebagai Mahkluk Ciptaan Allah

    Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tiap-tiap manusia sebagai makhluk Allah SWT bertanggung jawab atas perbuatannya. Firman Allah SWT: “Tiap-tiap dari (individu) bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. (QS. Al-Mudatstsir, 14: 38) Masalah tanggung jawab dalam konteks individual berkaitan dengan konteks teologis. Manusia sebagai makhluk individual berarti manusia harus bertanggung jawab terhadab dirinya (keseimbangan jasmani dan ciptanya). Tanggung jawab manusia terhadap dirinya akan lebih kuat intensitasnya apabila tidak memiliki kesadaran yang mendalam.

    Tanggung jawab dalam konteks pergaulan manusia adalah keberanian orang yang bertanggung jawab, orang yang berani menanggung resiko, atau segala yang terjadi tanggung jawabnya. Ia jujur terhadap dirinya dan jujur terhadap orang lain tidak pengecut dan mandiri. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang mau berkorban demi kepentingan orang lain.

    Demikian juga tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya, timbul karena manusia sadar akan keyakinan nilai-nilainya. Dalam hal ini terutama keyakinan terhadap nilai yang bersumber dari jalan agama manusia bertanggung jawab terhadap kewajiban menurut keyakinan agamannya.

    Macam – Macam Tanggung Jawab

    Menurut sifat dasarnya manusia adalah makhluk bermoral, juga seorang pribadi. Karena seorang pribadi, maka manusia mempunyai pendapat sendiri, perasaan sendiri berbuat dan bertindak sendiri. Dalam hal ini manusia tidak luput dari kesalahan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu manusia harus bertanggung jawab atas diri pribadi.

    Contoh:

    Saya bermain hp sambil berjalan. Meskipun sebentar-bentar melihat jalan, sayapun lengah, terperosoklah kaki saya kedalam lubang. Kaki sayapun terkilir. Saya menyesali diri sendiri akan kejadian itu. Saya harus beristirahat di rumah beberapa hari. Konsekuensi tinggal dirumah beberapa hari merupakan tanggung jawab sendiri atas kelengahan yang saya lakukan.

    Tanggung Jawab Terhadap Keluarga

    Lembaga sosial yang terkecil adalah keluarga. Keluarga kecil (keluarga batih= nuclier family) dan keluarga besar. Keluarga kecil terdiri dari suami, isrti dan anak-anaknya. Keluarga besar (extended family) suami, isrti, anak-anak, ayah-ibu, adik, kemenakan dan masih ada hubungan darah dan sebagainya. Tiap anggota keluarga wajib bertanggung jawab terhadap keluargannya. Tanggung jawab ini menyangkut nama baik keluarga. Tetapi tanggung jawab juga merupakan kesejahteraan, keselamatan, pendidikan dan kehidupan.

    Contoh:

    Penyelewengan Dr. Tono (sukartono) sebagai Ayah, berarti tidak bertanggung jawab akan kewajibannyasebagai suami. Sebaliknya Tini, istri Tono yang kurang menghargai suaminya, juga merupakan contoh tidak bertanggung jawabnya sebagai seorang istri.

    Tanggung Jawab Kepada Masyarakat

    Suatu kenyataan pula bahwa manusia adalah makhluk sosial. Ia merupakan angguta masyarakat. Ia hidup bersama ditengah-tengah masyarakat. Karena itu dalam berfikir, bertindak, dan sebagainya manusia terikat oleh masyarakat. Wajarlah apabila segala tingkah laku dan perbuatannya harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.

    Contoh:

    Tuti telah bertekat untuk berjuang meningkatkan derajat kaumnya dalam “Putri Sedar”. Ia bertekat bahwa apapun yang terjadi atas dirinya tetap akan dipertanggung jawabkan . ”Tidak, tidak, saya tidak boleh mendurhaka demikian terhadap asas, tujuan dan pendirian saya sendiri. Malu saya melihat saya sendiri”. Apa boleh buat jalan yng sulit ini sudah saya pilih dari semula dan tidak boleh menyimpang lagi, meski kemana sekalipun saya dibawanya.

    Tanggung Jawab Kepada Bangsa/ Negara

    Suatu kenyataan lagi bahwa setiap manusia, setiap individu adalah warga Negara suatu Negara. Dalam berfikir dan bertindak, berbuat, bertingkah laku, manusia terikat oleh norma-norma atau aturan-aturan, yang dibuat oleh negara. Manusia tidak dapat membuat semua sendiri. Bila perbuatan manusia itu salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada Negara.

    Contoh:

    Dalam novel “Jalan Tak Ada Ujung” karya Mochtar Lubis. Guru Isa yang terkenal sebagai guru yang baik terpaksa mencuri barang-barang milik sekolah, demi rumah tangganya. Perbuatan guru Isa ini harus dipertanggung jawabkan kepada pemerintah. Kalau perbuatan ini diketahui pihak berwajib, ia harus berurusan dengan pihak kepolisian dan keadilan.

    Tanggung Jawab Kepada Tuhan

    Tanggung jawab kepada Tuhan menuntuk kesadaran manusia untuk memenuhi kewajiban dan pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia harus bersyukur kepada Tuhan atas karunia-Nya, menciptakan manusia dan memberi rezeki kepadanya. Karena itu manusia wajib mengabdi kepada Tuhan.

    Firman Allah: “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, melainkan supaya mereka itu menyembah kepada Ku”. (QS. Az-Zariyat, 51: 56)

    Menyembah itu mengabdi kepada Tuhan, sebagai wujud tanggung jawab kepada Tuhan. Tanggung jawab erat kaitannya dengan kewajiban. Kewajiban adalah merupakan sesuatu yang dibebankan terhadap seseorang. Namun Allah hanya memberikan beban kepada seseorang sesuai dengan kemampuannya.

    Kewajiban merupakan bandingan terhadap hak dan dapat juga tidak mengacu kepada hak. Manusia mempunyai kewajiban terhadap Allah dengan menyembah-Nya, kewajiban terhadap sesama dengan cara berbuat baik. Orang yang bertanggung jawab dapat memperoleh haknya berupa kebahagiaan, sebab ia dapat menunaikan kewajibannya. Kebahagiaan tersebut dapat dirasakan oleh dirinya atau oleh orang lain. Manusia ada bukan dengan sendirinya, tetapi merupakan ciptaan Tuhan. Karena itu manusia berkewajiban terhadap Tuhan. Kelalaian akan kewajibannya terhadap Tuhan harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.

    Kesimpulan Manusia sering disebut sebagai makhluk yang bebas, artinya bebas menentukan dirinya sendiri. Akal dan budi telah menetapkan manusia dalam kedudukan yang “membahagiakan”. Dipihak lain akal dan budi memberikan “beban” bagi manusia. Sebab setiap manusia harus bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuatnya. Seperti manusia harus berani menanggung resiko dari apa yang dilakukannya.

    Sesuai dengan kedudukannya manusia makhluk individu, sosial, dan makhluk ciptaan Allah SWT. Tanggung jawab manusia dapat dibedakan atas tanggung jawab terhadap diri sendiri, terhadap masyarakat dan tanggung jawab terhadap Allah SWT.

    Sebagai makhluk sosial dibebani oleh tanggung jawab pula. Dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak ada peraturan dalam ketentuan yang wajib di taati oleh setiap anggota masyarakat bersangkutan.

  • MARTABAT MANUSIA

    MARTABAT MANUSIA Martabat saling berkaitan dengan maqam, maksudnya adalah secara dasarnya maqam merupakan tingkatan martabat seseorang hamba terhadap khalik-Nya, yang juga merupakan sesuatu keadaan tingkatannya seseorang sufi dihadapan Tuhannya pada saat dalam perjalanan spiritual dalam beribadah kepada Allah swt.

    Maqam ini terdiri dari beberapa tingkat atau tahapan seseorang dalam hasil ibadahnya yang di wujudkan dengan pelaksanaan dzikir pada tingkatan maqam tersebut, secara umum dalam thariqat naqsyabandi tingkatan maqam ini jumlahnya ada 7 (tujuh), yang di kenal juga dengan nama martabat tujuh, seseorang hamba yang menempuh perjalanan dzikir ini biasanya melalui bimbingan dari seseorang yang alim yang paham akan isi dari maqam ini setiap tingkatnya, seseorang hamba tidak di benarkan sembarangan menggunakan tahapan maqam ini sebelum menyelesaikan atau ada hasilnya pada riyadhan dzikir pada setiap maqam, ia harus ada mendapat hasil dari amalan pada maqam tersebut. Tingkat martabat seseorang hamba di hadapan Allah Swt mesti melalui beberapa proses sebagai berikut :

    1.) Taubat

    2.) Memelihara diri dari perbuatan yang makruh, syubhat dan apalagi yang haram

    3.) Merasa miskin diri dari segalanya

    4.) Meninggalkan akan kesenangan dunia yang dapat merintangi hati terhadap Tuhan Yang Maha Esa

    5.) Meningkatakan kesabaran terhadap takdirNya

    6.) Meningkatkan ketaqwaan dan tawakkal kepadaNya

    7.) Melazimkan muraqabah (mengawasi atau instropeksi diri)

    8.) Melazimkan renungan terhadap kebesaran Allah Swt

    9.) Meningkatkan hampir atau kedekatan diri terhadapNya dengan cara menetapkan ingatan kepadaNya

    10.) Mempunyai rasa takut dan rasa takut ini hanya kepada Allah Swt saja. Dengan melalui latihan di atas melalui amalan dzikir pada maqamat, maka seseorang hamba akan muncul sifat berikut :

    1.) Ketenangan jiwa

    2.) Harap kepada Allah Swt

    3.) Selalu rindu kepadaNya dan suka meningkatkan ibadahNya

    4.) Muhibbah, cinta kepada Allah Swt.

    Untuk mendapatkan point di atas, seseorang hamba harus melalui beberapa tingkatan maqam di bawah ini, tetapi melaluinya adalah amalan dzikir pada maqam yang 7 (tujuh), adapun hasilnya akan dapat di uraikan dengan beberapa maqam sifat, yaitu :


    Taubat
    Zuhud
    Sabar
    Syukur
    Khauf (takut)
    Raja’ (harap)
    Tawakkal

    Jadi manusia merupakan makhluk yang luar biasa kompleks. Sedemikian sempurna manusia diciptakan oleh Sang Pencipta dan manusia tidak selalu diam karena dalam setiap kehidupan manusia selalu ambil bagian. Kita sebagai manusia harus menjadi individu yang berguna untuk diri sendiri dan orang lain.

    Manusia itu tidak sepenuhnya sempurna, dalam kehidupan yang kita jalani pasti selalu ada masalah yang tidak bisa kita selesaikan, oleh karena itu juga membutuhkan bantuan dari orang lain, karena manusia adalah makhluk sosial sama seperti yang lain karena manusia tidak bisa berdiri sendiri, dalam hal agama kita juga mempunyai banyak maka dari itu kita harus saling menghargai dan mengasihi karena kita sama-sama makhluk yang diciptakan tidak ada bedanya, selain itu dalam hidup manusia juga terdapat banyak aturan yang harus kita patuhi sebagai umat manusia dan manusia telah dianugrahi potensi yang sempurna untuk hidup di dunia, yaitu akal, nafsu, dan qalbu.

    Akal diarahkan kepada alam melalui proses tafakur, sehingga manusia dapat menguasai ilmu dan teknologi sebagai pelaksanaan tugas kekhalifahannya, dan manusia mempunyai hakikat, martabat, serta tanggung jawab nya masing-masing. Sementara qalbu yang diarahkan kepada penghayatan firman-firman Allah melalui prosesdzikir melahirkan keimanan sebagai bentuk pelaksanaan tugas ke-abdullah-annya.

  • HAKEKAT DAN MARTABAT MANUSIA

    Konsep Manusia

    Al-Qur’an telah mencatat untuk kita model orang-orang seperti pada orang-orang dari “iklan” . Firaun berbicara kepada umat-Nya dan mengatakan dalam surat Al-Qashash, (Ayat 38), “Aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain Aku.” Pada ekstrem yang lain, manusia berpikir bahwa ia adalah yang paling diremehkan, terlemah, dan yang paling berharga di alam semesta ini, sehingga ia menunduk dengan penyerahan sebelum pohon, batu, hewan, atau sebelum matahari, bulan , bintang-bintang atau api dan makhluk lain. Islam menjelaskan kepada manusia realitasnya, asal-usulnya dan berbagai tahap penciptaan yang ia melewati.

    Asal-usul penciptaan dan tahap-tahap penciptaan-Nya:

    Islam telah menjelaskan bahwa realitas manusia berasal dari dua asal: Asal jauh, yang adalah ciptaan pertama dari lumpur ketika Allah (SWT) membuatnya dan ditiupkan ke dalam dirinya hidup, dan asal dekat, yang ciptaan-Nya dalam rahim ibunya. Allah (SWT) berfirman dalam surat As-Sajdah, (Ayat 7-9), tentang asal-usul manusia, “Dia orang yang unggul dalam segala sesuatu yang Dia ciptakan, dan Dia mulai menciptakan manusia dari tanah liat dan keturunan manusia kemudian dibuat dari cairan berharga, kemudian Dia membuatnya dan ditiupkan ke dalam dirinya dari jiwanya, dan dibuat untuk Anda pendengaran, penglihatan, dan hati, dan berkat kecil yang Anda memberi. “

    Sekarang, kita melihat bagaimana Al-Qur’an ternyata perhatian manusia terhadap cairan yang berharga dari mana ia diciptakan dalam rahim ibunya, “dari cairan berharga. Hal ini hendaknya menyadarkan Manusia untuk memberantas potensial menindas dan menghilangkan kesombongan dan membuat dia rendah hati dalam hidupnya.

    Manusia adalah makhluk terhormat:

    Allah (SWT) berfirman dalam surat Al-Isra ‘, (Ayat 70), “Kami telah menghormati anak-anak Adam dan membawa mereka di bumi dan di laut dan memberikan kepada mereka rezeki yang baik. Dan kita membuat mereka lebih baik daripada banyak dari apa yang kita buat. ” Kemudian Allah (SWT) menjelaskan bahwa Dia (SWT) membuat seluruh alam semesta dalam melayani manusia. Dia mengatakan dalam surat Luqman, (Ayat 20), “Apakah Anda tidak melihat bahwa Allah disediakan bagi Anda apa yang di langit dan di bumi dan membanjiri Anda dengan banyak berkat dikenal dan tidak dikenal.”

    Manusia memiliki kemampuan untuk dapat membedakan dan memilih antara baik dan jahat:

    Allah (SWT) berfirman dalam surat Ash-Syams, (Ayat 7-10 “Dan dengan Nafs, (jiwa), dan Allah yang sempurna dia dalam proporsi; Kemudian Dia mengilhami dia korupsi dan kebenaran nya; Memang ia berhasil yang memilih untuk memurnikan diri sendiri-Nya;. dan memang ia gagal yang merusak diri sendiri nya “

    Manusia memiliki potensi untuk belajar dan memperoleh pengetahuan:

    Allah (SWT) berfirman dalam surat Al-Alaq, (Ayat 3-5), “Bacalah dan Tuhan Anda adalah yang paling murah hati, Orang yang mengajar dengan pena, Dia mengajarkan manusia apa yang ia tidak tahu” . Dalam ayat lain, Allah (SWT) berfirman dalam surat An-Nahal, (Ayat 78), “Dan dibuat untuk Anda pendengaran dan penglihatan dan hati, sehingga Anda bersyukur. “Allah (SWT) mencemooh mereka yang tidak mendapatkan manfaat dari semua hak istimewa. Allah (SWT) berfirman dalam surat Al-Araf, (Ayat 179), “Mereka memiliki hati yang mereka tidak mengerti, mereka memiliki mata yang dengannya mereka tidak melihat, dan mereka memiliki telinga yang mereka tidak mendengar, mereka seperti binatang dan bahkan lebih buruk, mereka adalah pelupa atau lalai “.

    Manusia bertanggung jawab dan akuntabel dan dia akan mendapatkan hasil dari perbuatannya:

    Allah (SWT) berfirman dalam surat Al-Baqarah, (Ayat 30), “Dan Tuhanmu berkata kepada para malaikat bahwa saya menciptakan Khalifah di bumi.” Kemudian Allah (SWT) mengajarkan kepada Adam semua nama untuk menunjukkan bagaimana manusia malaikat istimewa di sisi Allah, maka Allah (SWT) memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam karena hormat.. Allah (SWT) berfirman dalam surat Az-Zalzalah, (Ayat 7-8), , “Dan barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarahpun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarahpun, niscahya dia akan (melihat) balasannya””Nabi Muhammad (SAW) mengatakan dalam sebuah hadits otentik yang dilaporkan oleh Imam At-Tirmidzi,” Para hamba Allah akan ditanya tentang empat hal pada hari kiamat: sekitar hidupnya dan apa yang ia lakukan dengan itu Dan tentang pengetahuan dan apa yang ia lakukan dengan itu Dan tentang uangnya? mana dia mendapatkannya dari dan di mana ia menghabiskan itu? Dan tentang tubuhnya bagaimana ia menggunakannya.? “

    2. Persamaan dan perbedaan manusia dengan makhluk lain

    Manusia tidak berbeda dengan binatang dalam fungsi tubuh dan fisiologisnya. Fungsi kebinatangan ditentukan oleh naluri, pola-pola tingkah laku yang khas yang pada gilirannya ditentukan oleh struktur syaraf bawaan. Semakin tinggi tingkat perkembangan binatang, semakin fleksibel pola tindakannya. Pada primata (bangsa monyet) yang lebih tinggi dapat ditemukan inteligensi, yaitu penggunaan pikiran guna mencapai tujuan yang diinginkan, sehingga memungkinkan binatang melampaui pola kelakuan yang telah digariskan secara naluri. Namun setinggi-tingginya perkembangan binatang, elemen-elemen dasar eksistensinya yang tertentu masih tetap sama. Manusia pada hakikatnya sama saja dengan makhluk hidup lainnya, yaitu memiliki hasrat dan tujuan. Ia berjuang untuk meraih tujuannya dengan didukung pengetahuan dan kesadaran. Perbedaan diantara keduanya terletak pada dimensi pengetahuan, kesadaran dan tungkat tujuan. Disinilah letak kelebihan dan keunggulan yang dimiliki manusia dibanding dengan makhluk lain.

    Manusia sebagai salah satu makhluk hidup di muka bumi merupakan makhluk yang memiliki karakter paling unik. Manusia secara fisik tidak begitu berbeda dengan binatang, sehingga pemikir menyamakan dengan binatang. Letak perbedaan utama antara manusia dengan makhluk lainnya adalah dalam kemampuannya melahirkan kebudayaan. Kebudayaan hanya dimiliki oleh manusia, sedangkan binatang hanya mampu bergerak dalam ruang yang terbatas. Walaupun ada binatang yang mampu bergerak di darat dan di air (laut) namun tetap memiliki keterbatasan dan dan tidak dapat melampaui manusia. Kelebihan manusia atas makhluk lainnya dijelaskan dalam QS. 17 (Al-Isra’) : 70.

    Artinya : Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan dilautam, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

    Manusia juga diberikan akal pikiran dan qalb sehingga dapat memahami ilmu yang diturunkan Allah berupa Al-Qur’an. Dengan ilmu manusia mampu berbudaya, Allah menciptakan manusia dalam keadaan yang sebaik-baiknya (QS. 95 : At-Tiin:4). Manusia bermartabat mulia jika mereka sebagai khalifah maka sesuai dengan QS. 6 (Al-An’am) : 165

    Artinya : Dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

    Oleh sebab itu manusia akan selalu mulia dan dilebihkan dari makhluk lainnya sepanjang tetap memanfaatkan potensi untuk mempertahankan kemuliaannya. Manusia memiliki kekhasan dibandingkan dengan makhluk yang paling mirip sekalipun. Menurut al-Qur’an kekhasan ini menyebabkan adanya konsekuensi kemanusiaan diantaranya kesadaran, tanggung jawab, dan pembalasan. Karakterisrik manusia adalah :

    1. Aspek Kreasi Apapun yang ada dalam tubuh manusia dirakit dalam suatu tatanan yang terbaik dan sempurna. Hal ini dapat dibandingkan dengan makhluk lain dalam aspek penciptaannya. Mungkin banyak kesamaannya, tetapi tangan manusia lebih fungsional dari tangan simpanse, demikian pula organ-organ lainnya.

    2. Aspek Ilmu Hanya manusia yang punya kemampuan memahami lebih jauh hakikat alam semesta ini. Pengetahuan hewan hanya terbatas pada naluri dasar yang tidak bisa dikembangkan melalui pendidikan dan pengajaran. Manusia menciptakan kebudayaan dan peradaban yang terus berkembang.

    3. Aspek Kehendak Manusia memiliki kehendak yang menyebabkan adanya pilihan dalam hidup. Makhluk hidup dalam suatu pola yang telah baku dan tidak akan pernah berubah. Para malaikat yang mulia tak akan pernah menjadi makhluk yang sombong atau maksiat.

    4. Aspek Akhlak Manusia adalah makhluk yang dapat dibentuk akhlaknya. Ada manusia yang sebelumnya baik, tetapi karena pengaruh lingkungan tertentu menjadi penjahat atau sebaliknya. Oleh sebab itu lembaga pendidikan diperlukan untuk mengarahkan kehidupan generasi yang akan datang agar lebih baik. .(Hamdan, dkk,2004:36) Selain itu Al Ghazaly juga mengemukakan pembuktian dengan kenyataan faktual dan kesederhanaan langsung bahwa diantara makhluk-makhluk hidup terdapat perbedaan-perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuan masing-masing. Keistimewaan makhluk hidup dari benda mati adalah sifat geraknya. Benda mati mempunyai gerak monoton dan didasari oleh prinsip alam. Sedangkan tumbuhan, makhluk hidup yang paling rendah tingkatannya. Selain mempunyai gerak monoton juga mempunyai kemampuan bergerak secara bervariasi diantaranya ada gerak vegetatif. Jenis hewan mempunyai prinsip yang lebih tinggi daripada tumbuh-tumbuhan yang menyebabkan hewan selain mempunyai kemampuan bergerak bervariasi juga memiliki rasa yang disebut prinsip jiwa sensitif. Dalam kenyataan, manusia juga mempunyai kelebihan dari hewan. Manusia juga mempunyai prinsip an nafs al insaniyyat yang memungkinkan untuk berpikir dan memilih dan prinsip inilah yang menjadi pembeda manusia dari makhluk hidup lainnya.

    3. Exsitensi dan martabat manusia Menurut Ibnu Sina yang terkenal dengan filasafat jiwanya menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial dan sekaligus makhluk ekonomi

    a) Manusia sebagai makhluk sosial: manusia tidak bisa hidup tanpa manusia yang lain. Manusia baru bisa mencapai kepuasan dan memenuhi segala kebutuhan bila hidup berkumpul.

    b) Manusia sebagai makhluk ekonomi, karena mereka selalu memikirkan masa depan dan menyiapkan segala sesuatu untuk masa depannya.

    Menurut pandangan Murtadha Mutahhari, manusi adalah makhluk serba dimensi

    a) Dimensi Pertama b) Secara fisik manusia hampir sama dengan hewan, membutuhkan makan, minum, istirahat dan menikah supaya ia dapat tumbuh dan berkembang.

    c) Dimensi Kedua d) Manusia memiliki sejumlah emosi yang bersifat etis, yaitu ingin memperoleh keuntungan dan menghindari kerugian.

    e) Dimensi Ketiga f) Menusia mempunyai perhatian terhadap keindahan.

    g) Dimensi keempat h) Manusia memiliki dorongan untuk menyembah Tuhan.

    i) Dimensi kelima j) Manusia mempunyai kemampuan dan kekuatan yang berlipat ganda karena dikaruniahi akal, fikiran dan khendak bebas.

    k) Dimensi keenam l) Manusia mampu mengenal dirinya. 4. Tujuan penciptaan manusia

    1. Tujuan Umum Adanya Manusia di Dunia

    Dalam al-qur’an Q.S. Al-Anbiya ayat 107 yang artinya,“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk Rahmat bagi semesta alam”Ayat ini menerangkan tujuan manusia diciptakan oleh Allah SWT dan berada didunia ini adalah untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Banyak yang salah mengira bahwa menjadi khalifah berarti ‘menguasai’. Arti kata rahmat adalah karunia, kasih sayang dan belas kasih. Jadi manusia sebagai rahmah adalah manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk menebar dan memberikan kasih saying kepada alam semesta. Manusia juga dibebankan menjadi Khalifah Allah, Khalifah sebenarnya adalah perwakilan Allah untuk memakmurkan bumi. Dengan berpedoman pada QS Al Baqarah:30-36, maka status dasar manusia adalah sebagai khalifah (makhluk penerus ajaran Allah) sehingga manusia harus :

    a. Belajar. Obyek belajar nya adalah ilmu Allah yang berwujud Al Quran dan ciptaanNya.Hal ini tercantum juga di dalam QS An Naml: 15-16 dan QS Al Mukmin: 54

    b. Mengajarkan Ilmu. Khalifah yang telah diajarkan ilmu Allah maka wajib untuk mengajarkannya kepada manusia lain.Yang dimaksud dengan ilmu Allah adalah Al Quran dan juga Al Bayan

    c. Membudayakan Ilmu. Ilmu Allah tidak hanya untuk disampaikan kepada manusia lain tetapi juga untuk diamalkan sehingga ilmu yang terus diamalkan akan membudaya. Hal ini tercantum pula di dalam QS Al Mu’min:35

    2. Tujuan Khusus Adanya Manusia di Dunia .

    “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56). “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembali-kan kepada Kami?” (Al-Mukminun: 115).

    “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (Al-Qiyamah: 36). Jadi berdasarkan ayat diatas tujuan penciptaan dari manusia tak lain adalah untuk ibadah. Ibadah sendiri artinya tunduk dan patuh kepada Allah ta’ala dengan penuh kecintaan dan pengagungan dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya sesuai dengan tuntutan yang ditetapkan dalam syarita-syariat-Nya.

    3. Tujuan Individu Dalam Keluarga

    Tujuan manusia berkelurga menurut Q.S. Al-Ruum ayat 21 yang artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tentram, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang . Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaaum yang mau berfikir.” Tujuan hidup berkeluarga dari setiap manusia adalah supaya tentram. Untuk menjadi keluarga yang tentram, Allah SWT memberikan rasa kasih sayang. Oleh sebab itu, dalam kelurga harus dibangun rasa kasih sayang satu sama lain.

    4. Tujuan Individu Dalam Masyarakat Setelah hidup berkeluarga, maka manusia mempunyai kebutuhan untuk bermasyarakat.

    Tujuan hidup bermasyarakat adalah keberkahan dalam hidup yang melimpah. Kecukupan kebutuhan hidup ini menyangkut kebutuhan fisik seperti perumahan, makan, pakaian, kebutuhan sosial (bertetangga), kebutuhan rasa aman, dan kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat mudah diperoleh apabila masyarakat beriman dan bertakwa. Apabila masyarakat tidak beriman dan bertakwa, maka Allah akan memberikan siksa dan jauh dari keberkahan. Oleh sebab itu, apabila dalam suatu masyarakat ingin hidup damai dan serba kecukupan, maka kita harus mengajak setiap anggota masyarakat untuk memelihara iman dan takwa. Allah berfirman : “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS Al-A’raf : 96)

    Pada dasarnya manusia memiliki dua hasrat atau keinginan pokok, yaitu:

    a. Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya yaitu masyarakat

    b. Keinginan untuk menjadi satu dengan suasan alam di sekelilingnya

    5. Tujuan Individu Dalam Bernegara

    Sebagai makhluk hidup yang selalu ingin berkembang menemukan jati diri sebagai pribadi yang utuh, maka manusia harus hidup bermasyarakat/bersentuhan dengan dunia sosial. Lebih dari itu manusia sebagai individu dari masyarakat memiliki jangkauan yang lebih luas lagi yakni dalam kehidupan bernegara. Maka, tujuan individu dalam bernegara adalah menjadi warganegara yang baik di dalam lingkungan negara yang baik yaitu negara yang aman, nyaman serta makmur.

    6. Tujuan Individu Dalam Pergaulan Internasional

    Setelah kehidupan bernegara, tidak dapat terlepas dari kehidupan internasional / dunia luar. Dengan era globalisasi kita sebagai makhluk hidup yang ingin tetap eksis, maka kita harus bersaing dengan ketat untuk menemukan jati diri serta pengembangan kepribadian. Jadi tujuan individu dalam pergaulan internasional adalah menjadi individu yang saling membantu dalam kebaikan dan individu yang dapat membedakan mana yang baik dan buruk dalam dunia globalisasi agar tidak kalah dan tersesat dalam percaturan dunia. 5.Fungsi dan peranan yang diberikan allah kepada manusia

    Berpedoman pada QS.Al-Baqarah : 30-36, status dasar yang dipolopori adam adalah sebagai khalifah. Jika kalifah diartikan sebagai mahluk penerus ajaran ALLAH ,maka peran yang dilakukan adalah sebagai pelaku ajaran ALLAH dan sekaligus menjadi pelopor dalam membudidayakan ajaran Allah,hal ini di mulai dari diri sendiri dan keluarganya.Adapun peran yang di lakukan seorang kalifah sebagaimana yang di tetapkan Allah,di antarany ialah:

    a.Belajar (Surat An-Naml : 15-16 dan Al –Mu’minun : 54)

    Belajar yang di nyatakan pada ayat pertama surat Al-Alaq adalah mempelajari ilmu Allah dan pada ayat kedua di jelaskan yang di maksud ilmu Allah adalah Al-Kitab. Istilah lain yang di nyatakan Al-Qur’an adalah iqra’. Istilah iqra’ adalah istilah yang di pergunakan Allah terhadap Muhammad dan pengikutnya.yang menjelaskan ilmu Allah yang berwujud Al-quran dan ciptaannya

    b. Mengerjakan Ilmu (Al-Baqarah : 31-39)

    Ilmu yang di ajarkan oleh kalifatullah bukan hanya ilmu yang di karang manusia saja,tetapi juga ilmu Allah.Pengertian ilmu Allah tidak identik dengan ilmu agama.Dengan demikian tidak terbentuk asumsi bahwa yang bukan ilmu agama adalah ilmu Allah. Ilmu Allah adalah ilmu al-Qur’an dan al- bayan (ilmu pengetahuan). Al-Qur’an merupakan aturan hidup dan kehidupan manusia serta hal-hal yang berhubungan dengan manusia.Mengerjakan Al-Qur’an berarti mengerjakan hidup dan kehidupan menurut Allah pencipta manusia dan alam semesta.

    c. Mumbudayakan Ilmu (al-Mu’minun: 35)

    Ilmu Allah yang telah diketahui bukan hanya untuk di sampaikan kepada orang lain,tetapi juga untuk diamalkan oleh diri sendiri terlebih dahulu sehingga membudaya. Seorang khalifah bertangung jawab kepada 4 instansi,yaitu:

    1. Fungsi Manusia Terhadap Diri Pribadi Manusia pribadi terdiri dari kesatuan unsur jasmani dan rohani, unsur rohani terdiri dari cipta (akal), rasa dan karsa. Fungsi manusia terhadap diri pribadi yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan unsur-unsur tersebut secara menyeluruh agar kebutuhan pribadi tetap terjaga. Unsur jasmani yang memerlukan makan-minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan sebagainya dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Akal yang merupakan salah satu segi unsur rohani kita bertabiat suka berpikir. Tabiat suka berpikir akan dipenuhi dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang berguna bagi hidup manusia. Rasa yang juga merupakan salah satu segi unsur rohani yang selalu merindukan keindahan, kebenaran, keadilan dan sebagainya itu kita penuhi pula kebutuhannya dengan berbagai keseniaan yang sehat, hidup dengan pedoman yang benar, berlaku adil dan sebagainya [Ahmad Azhar Basyir, 1985 : 4]. Perasaan yang rindu kepada kebaikan diisi dengan nilai-nilai moral, perasaan yang rindu kepada keindahan diisi dengan nilai-nilai seni-budaya, perasaan yang rindu kepada kemuliaan diisi dengan taqwa, perasaan yang rindu kepada kesucian diisi dengan usaha-usaha meninggalkan sifat-sifat tercela, seperti dengki, takabbur, aniaya dan sebagainya (Ahmad Azhar Basyir, 1984 : 8),

    2. Fungsi Manusia Terhadap Masyarakat . Firman Allah, QS. al-Hujarat : 13, Allah mengajarkan kepada manusia sebagai berikut : “Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan telah kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di hadirat Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” [QS.al-Hujarat: 13].

    Dari ayat ini dapat diketahui bahwa manusia adalah makhluk individual, makhluk relegius, dan makhluk sosial. “Sebagai makhluk individual manusia mempunyai dorongan untuk kepentingan pribadi, sebagai makhluk relegi manusia mempunyai dorongan untuk mengadakan hubungan dengan kekuatan di luarnya [Allah], adanya hubungan yang bersifat vertikal, dan sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan manusia yang laiannya”, …maka kemudian terbentuklah kelompok-kelompok masyarakat [Bimo Walgito, 1987 : 41]. Fungsi manusia terhadap masyarakat terbangun atas dasar sifat sosial yang dimiliki manusia, yaitu adanya kesedian untuk selalu melakukan interaksi dengan sesamanya. Ditegaskan dalam al-Qur’an bahwa manusia selalu mengadakan hubungan dengan Tuhannya dan juga mengadakan hubungan dengan sesama manusia. Kesedian untuk memperhatikan kepentingan orang lain, dalam hal ini adalah tolong menolong. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2, sebagai berikut :

    “Dan tolong menolong-menolong kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.

    3. Fungsi Manusia Terhadap Alam dan Lingkungan Fungsi manusia terhadap alam adalah bagaimana manusia memanfaatkan potensi alam untuk mencukupkan kebutuhan hidup manusia. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa segala sesuatu di langit dan dibumi ditundukan Allah kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sendiri [QS.al-Jatsiyah:13]. Laut, sungai, matahari, bulan, siang dan malam dijadikan sebagai sarana kemakmuran hidup manusia [QS. Ibrahim : 32-34]; binatang ternak diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia [QS. an-Nahl : 5] ; laut ditundukkan kepada manusia sebagai sarana komunikasi dan untuk digali dan dimanfaatkan kekayaannya [QS. Fathir:12 dan an-Nahl:14] [Ahmad Azhar Basyir, 1988 : 40].

    Dalam memenuhi fungsi manusia terhadap alam, hendaknya selalu diusahakan agar keselamatan manusia tidak terganggu. Tidak memanfaatkan potensi alam secara berlebih-lebihan, agar generasi mendatang masih dapat menikmatinya, karena potensi alam terbatas [Ahmad Azhar Basyir, 1985 : 16]. Apabila berlaku belebih-lebihan, tamak, rakus, dalam menanfaatkan potensi alam akan berakibat kerusakan pada manusia itu sendiri. Dalam hubungan ini, Allah memperingatkan manusia [QS. Ruum : 41] bahwa, “Kerusakan di darat dan laut terjadi akibat perbuatan tangan manusia sendiri; Allah merasakan kepada mereka sebagai [akibat] perbuatan mereka, supaya mereka kembali ke jalan yang benar”. Berdasarkan ayat ini, maka pemanfaatan potensi alam untuk kepentingan manusia sekarang, harus memperhatikan kepentingan generasi mendatang, dengan berusaha menjaga, melestarikan potensi alam tersebut.

    4. Fungsi Manusia Terhadap Allah Fungsi manusia terhadap Allah ditegaskan dalam al-Qur’an surat adz-Dzariyat ayat 56, sebagai berikut : “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 21, Allah memerintahkan manusia untuk beribadah, sebagai berikut : “Hai manusia, beribadahlah kamu kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa”.

    Dengan demikian, beribadah kepada Allah yang menjadi fungsi manusia terhadap Allah baik dalam bentuknya umum maupun dalam bentuk khusus. Ibadah dalam bentuk umum ialah melaksanakan hidup sesuai ketentuan-ketentuan Allah, sebagaimana diajarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ibadah dalam pengertiam umum mencakup segala macam perbuatan, tindakan dan sikap manusia dalam hidup sehari-hari. Sedangkan ibadah dalam bentuk khusus (mahdhah) yaitu berbagai macam pengabdian kepada Allah yang cara melakukannya sesuai dengan ketentuan syara’. Dalam bidang ‘aqidah, fungsi manusia terhadap Allah adalah meyakini bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah. Bertuhan kepada selain Allah berarti suatu penyimpangan dari fungsi manusia terhadap Allah. Bertuhan kepada Allah adalah sesuai sifat dasar manusia yaitu sifat relegius, tetapi sifat “hanief” yang ada pada manusia membuat manusia harus condong kepada kebenaran yaitu mentauhidkan Allah.

    6.Tanggungjawab manusia sebagai hamba dan khalifah

    1. Mengabdikan diri kepada Allah menerusi beriman kepada Allah dan melakukan amal soleh dalam bentuk yang sempurna.

    2. Sebagai hamba, manusia perlu melaksanakan amanah Allah, memelihara serta mengawal agama Allah serta ajaran Allah SWT.

    3. Ke arah melaksanakan amanah sebagai khalifah Allah ini, manusia hendaklah menyedari dan memahami bahawa kewajiban berdakwah dengan menyebarkan dan memperluaskan ajaran Islam ke arah menegakkan syiar Islam serta meninggikan kalimah Allah di atas muka bumi ini, dengan berperanan menegakkan amar makruf serta mencegah kemungkaran. “Dan hendaklah ada di antara kamu satu puak yang menyeru (berdakwah) kepada kebajikan (mengembangkan Islam). Dan menyuruh berbuat segala perkara yang baik, serta melarang daripada segala yang salah (buruk dan keji). Dan mereka yang bersifat demikian ialah orang-orang yang berjaya. (Ali Imran: 104)

    4. Sebagai khalifah Allah, yang dimaksudkan dengan wakil Allah, wajiblah manusia menjaga agama dengan melaksanakan dua perkara: i) Menegakkan Islam. Dengan berdakwah kepada manusia seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat RA dan membuktikan kebaikan ajaran Islam dan hukumnya di samping mempertahankan agamanya dari ancaman musuh. ii) Melaksanakan Islam. Dengan mengamalkan perintahNya dan meninggalkan laranganNya, dalam semua urusan termasuk juga urusan kemasyarakatan dan kenegaraan.

    5. Bertanggungjawab menjauh dan memelihara diri dan keluarga daripada masuk ke dalam neraka. “Wahai orang-orang yang beriman ! Peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu (berhala). Neraka itu dijaga dan dikawal oleh Malaikat-malaikat yang keras kasar (layanannya), mereka tidak menderhaka kepada Allah dalam segala yang diperintahkanNya kepada mereka dan mereka pula melakukansegala yang diperintahkan.” (At-Tahrim : 6)

    Begitulah di antara tanggungjawab besar yang wajib dilaksanakan oleh setiap manusia ang hidup di atas muka bumi Allah. Seterusnya ia mestilah kembali kepada Islam, menghayati Islam, kembali kepada beriman dan beramal soleh.

  • Hakekat Manusia

    Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Allah SWt yang memiliki peranan penting dalam kehidupan di muka bumi. Manusia juga dipandang sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya dibandingkan makhluk Allah SWT bahkan Allah menyuruh para malaikat untuk bersujud kepada Adam Alaihi salam. Masyarakat barat memiliki pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa dan raga serta dibekali dengan akal dan pikiran. Lalu bagaimanakah hakikat manusia dalam pandangan islam? Simak penjelasan berikut ini (baca fungsi iman kepada Allah SWT)

    Asal Kejadian Manusia

    Asal usul manusia dalam Islam dapat dijelaskan dalam proses penciptaan manusia pertama yakni nabi Adam As. Nabi Adam AS adalah manusia pertama yang diciptakan Allah SWT dan diberikan ilmu pengetahuan dan kesempurnaan dengan segala karakternya. Allah mengangkat Adam dan manusia sebagai khalifah dimuka bumi sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut ini

    “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “Sesungguhya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan engkau?” Tuhan berfirman:”sesungguhnya aku mengetahui apa yan tidak kamu ketahui”.(QS.Al-Baqarah : 30)

    Proses penciptaan manusia dijelaskan dalam al-Qur’an dan bahkan penjelasan dalam Alqur’an ini kemudian terbukti dalam ilmu pengetahuan yang ditemukan setelah turunnya Alqur’an. Ada lima tahap dalam penciptaan manusia yakni al-nutfah, al-‘alaqah, al-mudhgah, al-‘idham, dan al-lahm sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikut ini

    ”Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, dan segumpal darah itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami jadikan segumpal daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, pencipta yang paling baik”. (QS. Al-Mu’minun ayat 12-14) Tujuan Penciptaan Manusia

    Adapun tujuan utama allah SWT menciptakan manusia adalah agar manusia dapat menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Tugas utama manusia adalah beribadah dan menyembah Allah SWt, menjalani perintahnya serta menjauhi larangannya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT berikut ini

    “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah Aku.” (QS Adz Zariyat :56).

    Sebagai khalifah dimuka bumi manusia hendaknya juga dapat menjaga amanatnya dalam menjaga alam dan isinya. Manusia sememstinya memiliki akhlak dan perilaku yang baik kepada sesama maupun makhluk hidup yang lain. (baca cara meningkatkan akhlak terpuji)

    Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam

    Dalam agama islam, ada enam peranan yang merupakan hakikat diciptakannnya manusia. Berikut ini adalah dimensi hakikat manusia berdasarkan pandangan agama islam

    1. Sebagai Hamba Allah Hakikat manusia yang utama adalah sebagai hamba atau abdi Allah SWT. Sebagai seorang hamba maka manusia wajib mengabdi kepada Allah SWT dengan cara menjalani segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Sebagai seorang hamba, seorang manusia juga wajib menjalankan ibadah seperti shalat wajib, puasa ramadhan (baca puasa ramadhan dan fadhilahnya), zakat (baca syarat penerima zakat dan penerima zakat), haji (syarat wajib haji) dan melakukan ibadah lainnya dengan penuh keikhlasan dan segenap hati sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikut ini “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus …,” (QS:98:5).

    2. Sebagai al- Nas Dalam al- Qur’an manusia juga disebut dengan al- nas. Kata al nas dalam Alquran cenderung mengacu pada hakikat manusia dalam hubungannya dengan manusia lain atau dalam masyarakat. Manusia sebagaimana disebutkan dalam ilmu pengetahuan, adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa keberadaan manusia lainnya (baca keutamaan menyambung tali silaturahmi). Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah SWT berikut “Hai sekalian manusia, bertaqwalaha kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istirinya, dan dari pada keduanya Alah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan) namanya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS: An Nisa:1).

    “Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS: Al Hujurat :13).

    3. Sebagai khalifah Allah Telah disebutkan dalam tujuan penciptaan manusia bahwa pada hakikatnya, manusia diciptakan oleh Allah SWt sebagai khlaifah atau pemimpin di muka bumi.(baca fungsi alqur’an bagi umat manusia)

    “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (peguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. …”(QS Shad:26). Sebagai seorang khalifah maka masing-masing manusia akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di hari akhir.

    4. Sebagai Bani Adam Manusia disebut sebagai bani Adam atau keturunan Adam agar tidak terjadi kesalahpahaman bahwa manusia merupakan hasil evolusi kera sebagaimana yang disebutkan oleh Charles Darwin. Islam memandang manusia sebagai bani Adam untuk menghormati nilai-nilai pengetahuan dan hubungannya dalam masyarakat. Dalam Alqur’an Allah SWT berfirman “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, semoga mereka selalu ingat. Hai anak Adam janganlah kamu ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, …” (QS : Al araf 26-27).

    5. Sebagai al- Insan Tidak hanya disebut sebagai al nas, dalam Alqur’an manusia juga disebut sebagai Al insan merujuk pada kemampuannya dalam menguasai ilmu dan pengetahuan serta kemampuannya untuk berbicara dan melakukan hal lainnya (baca hukum menuntut ilmu). Sebagaimana disebutkan dalam surat Al hud berikut ini

    “Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat, kemudian rahmat itu kami cabut dari padanya, pastilah ia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS: Al Hud:9).

    6. Sebagai Makhluk Biologis (al- Basyar) Manusia juga disebut sebagai makhluk biologis atau al basyar karena manusia memiliki raga atau fisik yang dapat melakukan aktifitas fisik, tumbuh, memerlukan makanan, berkembang biak dan lain sebagainya sebagaimana ciri-ciri makhluk hidup pada umumnya. Sama seperti makhluk lainnya di bumi seperti hewan dan tumbuhan, hakikat manusia sebagai makhluk biologis dapat berakhir dan mengalami kematian, bedanya manusia memiliki akal dan pikiran serta perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.

    Segala hakikat manusia adalah fitrah yang diberikan Allah SWT agar manusia dapat menjalankan peran dan fungsinya dalam kehidupan. Manusia sendiri harus dapat memenuhi tugas dan perannya sehingga tidak menghilangkan hakikat utama penciptaannya.

  • Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Wanita Haid

    Kita meyakini wajibnya bersuci dari haid. Adapun haid itu adalah darah normal yang keluar dari dinding rahim pada saat-saat yang sudah maklum yang bukan disebabkan oleh penyakit atau terkena sesuatu. Sedangkan ketentuan batas minimal dan maksimalnya, permulaan dan berakhirnya merupakan perkara ijtihad.

    Darah keruh dan kekuning-kuningan pada masa haid terhitung sebagai haid, sedangkan di luar masa haid tidak dianggap sebagai haid. Sementara istihadhah adalah darah yang keluar dari wanita di luar masa haid.

    Dalam masalah ini (antara haid dan istihadzah), para wanita ada yang memiliki kebiasaan masa haid (siklus normal), ada juga yang bisa membedakan warna darah (mana haid dan mana yang bukan), dan ada juga yang tidak tidak tahu (tidak punya kebiasaan dan tidak bisa membedakan).

    Wanita yang memiliki masa (siklus) haid yang normal maka ia berpatokan kepada kebiasaannya tersebut. Dan yang bisa membedakan darah haid dan selainnya, maka ia berpatokan pada kemampuan itu. Sedangkan wanita yang tidak mempunyai kebiasaan yang jelas dan tidak pula mampu membedakan antara haid dan bukan, maka ia berpatokan pada kebiasaan haid wanita di tempatnya: 6 hari atau tujuh hari setiap bulan. Lalu ia bersuci dan sesudah itu ia berwudlu pada setiap shalat.

    Bagi wanita yang mengalami haid diharamkan shalat, berpuasa, thawaf di Ka’bah, menyentuh mushaf tanpa penghalang, tinggal di masjid, dan dilarang untuk disetubuhi di kemaluannya. Sedangkan bagi wanita beristihadhah, semua itu tidak dilarang.

    Allah Ta’ala berfirman,

    وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

    “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

    Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Hubaisy,

    فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي“

    Maka apabila datang haidmu, tinggalkan shalat. Dan apabila telah selesai, cucilah darah darimu (mandilah), lalu laksanakan shalat!.” (HR. Al-Bukhari)

    Dan dalil yang menunjukkan bahwa wanita yang mengalami istihadhah beramal (berpatokan) pada kebiasaannya adalah hadits Fathimah binti Hubaisy, ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya saya wanita yang mengalami istihadhah dan tidak pernah suci, Apakah aku harus meninggalkan shalat?” Maka beliau menjawab, “Tidak, sesungguhnya itu hanya jenis darah (penyakit). Tetapi tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari yang kamu biasa haid, lalu mandilah dan shalatlah!” (HR. Al-Bukhari)

    Juga hadits Ummu Habibah binti Jahsy, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang darah. Lalu beliau bersabda kepadanya, “Berhentilah selama darah haidmu menghalangimu, lalu mandi dan kerjakanlah shalat!” (HR. Al-Bukhari)

    Tentang dalil bagi wanita yang mampu membedakan jenis darah haid dan yang bukan sehingga dia harus berpatokan pada kemampuannya tersebut adalah hadits Fathimah binti Hubaisy yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dan Nasa’i, di dalamnya terdapat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya, “Apabila darah haid maka warnanya kehitaman yang sudah dikenal. Karena itu, tinggalkan shalat. Dan jika berwarna lain, maka berwudhu’lah dan kerjakan shalat!.”

    Adapun dalil bahwa wanita yang tidak memiliki kebiasaan haid dan tidak pula bisa membedakan jenis darah haid dengan selainnya, maka ia berpatokan pada kebiasaan kaum wanita di tempatnya adalah hadits Hamnah binti Jahsy. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Sesungguhnya itu adalah gangguan dari syetan. Karenanya, jalanilah haidmu enam atau tujuh hari, lalu mandilah. Maka apabila engkau yakin telah suci, maka shalatlah 23 atau 24 hari (malam dan siangnya) dan berpuasalah. Sesungguhnya itu sudah cukup bagimu. Lakukanlah hal itu setiap bulan, sebagaimana haidnya para wanita dan masa suci mereka berpatokan masa haid dan suci mereka.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Tirmidzi. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’, no. 205)

    Dalil yang menunjukkan bahwa cairan keruh dan kekuning-kuningan yang muncul di luar masa haid tidak dianggap haid adalah hadits Ummu ‘Athiyah:

    كُنَّا لَا نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ شَيْئًا“

    Sesungguhnya kami tidak menganggap cairah keruh dan cairan kekuning-kuningan sebagai suatu masalah.” (HR. Al-Bukhari. Dalam Shahihnya, beliau membuat judul untuk hadits ini dengan, “Bab: Cairah Kekuning-Kuningan dan Keruh di Luar Masa Haid”.

    Dan dalam riwayat Abu Dawud,
    ,كُنَّا لَا نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا“

    Kami tidak menganggap cairan berwarna keruh dan kekuning-kuningan sesudah suci sebagai suatu masalah.”

    Pernyataan Kunnaa (adalah kami) maksudnya adalah pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) dan beliau mengetahui hal itu, ini memiliki hukum marfu’ (sampai kepada beliau). Dan yang dipahami dari hadits tersebut, cairan berwarna keruh dan kekuning-kuningan sebelum suci terhitung sebagai haid dan menempati hukumnya.

    Dalil yang menunjukkan bahwa wanita haid harus meninggalkan shalat dan puasa adalah Hadits Abu Sa’id al-Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukankah apabila dia haid maka tidak shalat dan puasa?” Mereka menjawab, “Tentu.” Beliau bersabda, “Maka itulah tanda dari kurangnya agama mereka.” (Muttafaq ‘alaih)

    Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Hubaisy, “ . . . Maka apabila datang haidmu, tinggalkanlah shalat. Dan apabila telah selesai, mandi dan shalatlah.” (HR. al-Bukhari)

    Wanita haid diharamkan thawaf di Baitullah. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Aisyah saat ia haid, “Kerjakan semua yang dikerjakan jamaah haji, hanya saja engkau tidak boleh thawaf di Baitullah hingga engkau suci.” (Muttafaq ‘alaih)

    Dalil yang menjadi landasan diharamkannya wanita haid menyentuh mushaf adalah firman Allah Ta’ala,لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ“Tidak menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al-Waaqi’ah: 79)

    Dan juga sabda Nabi yang tertulis dalam surat yang dikirimkan kepada ‘Amru bin Hazm,

    “Tidak menyentuh mushaf kecuali orang yang suci.” (HR. Nasai da lainnya. Dishaihkan al-Albani dalam shaih al-Jami’, no. 7780)

    Dalil yang menunjukkan bahwa wanita haid tidak boleh berdiam diri di masjid adalah firman Allah Ta’ala,

    وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا“

    (Jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. Al-Nisa’: 43) Sedangkan wanita haid dan nifas tergolong dalam makna janabat menurut kesepakatan para ulama.

    Wanita haid juga haram untuk disetubuhi berdasarkan firman Allah Ta’la,

    وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ“

    Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

    Dan juga dalam hadits ‘Aisyah, dia berkata: “Adalah salah seorang kami (para istri Nabi) apabila dia haid sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkeinginan bercumbu dengannya, maka beliau menyuruhnya untuk menutupi tempat keluarnya haid dengan kain, kemudian baru beliau bercumbu dengannya.” ‘Aisyah berkata, “Siapa di antara kalian yang lebih bisa menahan gairahnya daripada Nabi.” (Fath al-Baari: I/403)

    Dan juga hadits Anas dalam riwayat Muslim, dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

    اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ“

    Lakukanlah segala sesuatu selain jima’

    Ini adalah tulisan bersambung dari prinsip-prinsip Islam yang ke 61. Diterjemahkan oleh Badrul Tamam dari kitab Maa Laa Yasa’ al-Muslima Jahluhu, DR. Abdullah Al-Mushlih dan DR. Shalah Shawi.

  • Tayammum

    Syariat Islam memiliki keistimewaan memberikan kemudahan dan keringanan kepada manusia, dengan memperhatikan keadaan dan sisi-sisi kehidupannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

    وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

    Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan [Al-Haj/22:78].

    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

    إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ

    Sesungguhnya agama Islam itu mudah dan tidaklah seorang berlebihan dalam agama kecuali akan kalah [HR. Al-Bukhâri].

    Kemudahan dan keringanan menjadi asas dan dasar dalam fikih Islam, sehingga tampak banyak kemudahan yang diberikan kepada kaum Muslimin dalam banyak bentuk ibadah dan muamalatnya. Diantara kemudahan dan keringanan tersebut adalah pensyariatan Tayammum sebagai bentuk kemudahan dalam bersuci ketika tidak didapatkan air atau tidak mampu menggunakannya karena satu alasan syar’i.

    HAKEKAT TAYAMMUM

    Tayammum dalam bahasa Arab diartikan sebagai al-Qhasdu (القَصْدُ) yang berarti sengaja atau bermaksud. Imam Ibnu Fâris rahimahullah berkata: Huruf Ya’ dan Mim adalah kata yang menunjukkan bermaksud pada sesuatu dan menyengaja[1]. Sebagai contoh adalah firman Allâh Azza wa Jalla :وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَDan janganlah kamu sengaja memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, [Al-Baqarah/2:267]

    Sedangkan secara istilah dalam syari’at, para ulama berbeda dalam mendefinisikannya dalam beberapa definisi, diantaranya adalah : “sebuah peribadatan kepada Allâh berupa mengusap wajah dan kedua tangan dengan menggunakan sha’îd yang bersih “ [2]. Juga didefinisikan dengan : “menggunakan sha’îd yang bersih untuk mengusap wajah dan kedua telapak tangan dengan syarat khusus dengan cara yang khusus juga. “ [3]

    Kata Sha’îd dalam bahasa Arab adalah seluruh permukaan bumi yang dapat digunakan untuk bertayammum baik yang terdapat tanah di atasnya ataupun tidak.

    PENSYARIATAN TAYAMMUM

    Tayammum disyari’atkan dalam Islam berdasarkan dalil al-Qur’ân, as-Sunnah dan Ijmâ’ (konsensus) kaum Muslimin [4]. Adapun dalil dari al-Qur’ân adalah firman Allâh Azza wa Jalla,

    وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

    Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu [Al-Mâidah/5:6].

    Adapun dalil dari as-Sunnah cukup banyak. diantaranya adalah hadits Imrân bin Hushain al-Khuzâ’i yang panjang dan ada disana pernyataan:

    أنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لمَاَّ انْفَتَلَ مِنْ صَلَاتِهِ إِذَا بِرَجُلٍ مُعْتَزِلٍ لَمْ يُصلِّ مَعَ الْقَوْمِ، قَالَ: مَا مَنَعَكَ يَا فُلانُ أنْ تُصَلِي مَعَ الْقَوْمِ؟ قَالَ: أَصَابَتْنِي جَنَابَةٌ وَلَا مَاءَ، قَالَ:”عَلَيْكَ بِالصَّعِيْدِ؛ فَإِنَّهُ يَكْفِيْكَ

    ”Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika selesai dari shalatnya, ternyata menemui seorang yang menyendiri tidak shalat bersama orang-orang. Beliau bersabda: Apa yang mencegah kamu wahai Fulan untuk shalat bersama orang-orang? Dia menjawab: Aku terkena junub dan tidak ada air. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Hendaknya kamu menggunakan sha’îd (tayamum), karena itu mencukupkanmu. [HR al-Bukhâri no. 344]

    Demikian juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Sahabat Hudzaifah bin Yaman Radhiyallahu anhu yang menyatakan:

    وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ

    Dijadikan bagi kami (ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) permukaan bumi sebagai thahur/sesuatu yang digunakan untuk besuci (tayammum) jika kami tidak menjumpai air. [HR. Muslim no. 522].

    Umat Islam telah menyepakati bolehnya menggunakan tayammum dan pensyariatannya sebagaimana dinukil para ulama, diantaranya Ibnu al-Mundzir rahimahullah yang menyatakan, “Mereka berijmâ’ bahwa tayammum dengan tanah yang berdebu diperbolehkan”.[1] Juga Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Tayammum disyariatkan dengan al-Qur`an, as-Sunnah dan ijma’ umat ini.” [2]

    HIKMAH PENSYARIATAN TAYAMMUM[3]

    Allâh Azza wa Jalla menyampaikan sebagian hikmah dan tujuan disyariatkannya tayammum dalam firman-Nya:

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

    Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allâh tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. [Al-Mâidah/5:6]

    Dalam ayat yang mulia ini Allâh Azza wa Jalla sebutkan tiga hikmah disyariatkannya tayammum, yaitu:

    Menghilangkan kesulitan

    Ingin membersihkan dan mensucikan diri

    Menyempurnakan nikmatnya

    Namun para Ulama menyampaikan hikmah dan tujuan disyari’atkannya tayammum lainnya, diantaranya adalah:

    Allâh Azza wa Jalla mengetahui jiwa memiliki kemalasan dan kecenderungan untuk tidak taat, maka mensyariatkan tayammum ketika tidak ada air, agar jangan terbiasa meninggalkan ibadah sehingga sulit untuk mengembalikannya ketika ada air.

    Agar manusia merasakan kematiannya dengan tidak ada air dan menggunakan debu yang menjadi kuburannya, sehingga dapat menghilangkan kemalasan dan menjadikan mudah semua amalan yang menyusahkannya.

    Mewujudkan pengertian taat dan tunduk kepada perintah Allâh Azza wa Jalla dan terikat dengan syariatnya dengan merealisasikan dan melaksanakan semua perintah Allâh Azza wa Jalla .

    Diantara hikmah menjadikan tayammum dengan debu adalah karena mudah dan selalu ada. Debu hampir ada di setiap tempat. Walaupun debu ada dimana-mana tapi syariat hanya memerintahkan untuk mengusap wajah dan telapak tangan saja untuk menghilangkan kesulitan atas para hamba.

    Tayammum dengan debu memberikan perasaan hina dihadapan Allâh Azza wa Jalla dan rendah hati serta merasa sangat membutuhkan Allâh Azza wa Jalla .

    Tujuan dari tayammum adalah keringanan dan kemudahan.

    Dengan demikian jelas banyak sekali hikmah dari pensyariatan tayammum ini.

    KAPAN DISYARIATKAN BERTAYAMMUM?

    Disyariatkan bertayammum apabila tidak bisa menggunakan air untuk semua anggota yang wajib disucikan atau sebagiannya karena tidak ada air atau takut madharat (bahaya) apabila menggunakan air.[4]

    Tidak ada air, maksudnya tidak ada air sama sekali atau bisa juga ada air tapi sedikit sehingga tidak cukup untuk bersuci. Apabila tidak ada air sama sekali, maka bertayammum, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

    وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

    Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. [Al-Mâidah/5 : 6].

    Hal ini sudah menjadi kesepakatan para Ulama.[5]

    Adapun jika ada air tapi hanya cukup untuk mencuci sebagian anggota wudhu atau mandi, maka dalam hal ini para Ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat :[6]

    1. Wajib menggunakan air tersebut kemudian bertayammum pada anggota yang belum terkena air. Inilah pendapat mazhab Hambali dan pendapat imam asy-Syâfi’i rahimahullah dalam al-Qaul jadîd. Dasar argumentasi pendapat ini adalah;

    A. Firman Allâh Azza wa Jalla dalam surat al-Mâidah ayat ke-6 dari dua sisi: Pertama: Allâh Azza wa Jalla menetapkan bahwa syarat disyari’atkan tayammum adalah tidak ada air (atau tidak mendapatkannya), sehingga orang yang memiliki air meskipun itu sedikit, berarti dia termasuk orang yang mendapati air. (lihat al-Mughni 1/315). Dan itu berarti dia tidak memenuhi syarat untuk bertayammum-red.

    Kedua: kata (مَاءً) dalam ayat di atas bersifat umum, mencakup air yang sedikit maupun yang banyak. Artinya, orang yang mendapati air, baik sedikit maupun banyak tidak boleh melakukan tayammum.

    B. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

    إِنَّ الصَّعِيْدَ الطَّيِّبَ وَضُوءُ لِلْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِيْنَ، وَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ هُوَ خَيْرٌ.

    Sesungguhnya permukaan bumi (debu) yang bersih adalah alat berwudhu seorang muslim walaupun dia tidak mendapati air sepuluh tahun dan apabila telah mendapatkan air maka hendaknya membasuh kulitnya, karena itu lebih baik. [HR. Ahmad dan Abu Dawud no. 332 dan dishahihkan sanadnya oleh al-Albâni rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalîl 1/181]

    C. Qiyâs kepada badan yang sebagiannya sehat dan sebagiannya terluka.

    Mukallaf (orang yang telah terkena beban syari’at-red), apabila mendapatkan air yang dapat digunakan untuk sebagian badannya maka dia harus menggunakannya, sebagaimana bila mayoritas badannya sehat dan sebagian lainnya terluka.

    2. Bertayammum dan tidak harus menggunakan air. Inilah pendapat mazhab Mâlikiyah, Hanafiyah dan salah satu dari pendapat Imam asy-Syâfi’i rahimahullah. Pendapat ini dirajihkan oleh Imam al-Muzani rahimahullah [7] dan as-Sa’di rahimahullah [8]. Dasar pendapat ini adalah:

    A. Firman Allâh Azza wa Jalla :فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُواlalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah. [Al-Mâidah/5:6]

    Air yang dimaksud di sini adalah air yang cukup untuk mandi atau wudhu`. Oleh karena itu, apabila seseorang tidak mendapatkan air yang cukup untuk bersuci, maka itu sama dengan tidak mendapatkan air, sehingga ia boleh tayammum.

    B. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

    إِنَّ الصَّعِيْدَ الطَّيِّبَ وَضُوءُ لِلْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِيْنَ، وَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ هُوَ خَيْرٌ

    Sesungguhnya permukaan bumi (debu) yang bersih adalah alat berwudhu seorang muslim walaupun dia tidak mendapati air sepuluh tahun dan apabila telah mendapatkan air maka hendaknya membasuh kulitnya, karena itu lebih baik. [HR Ahmad dan Abu Daud, no. 332 dan dishahihkan sanadnya oleh al-Albani t dalam Irwa’ul Ghalîl, 1/181]

    Hadits ini menunjukkan, apabila mendapatkan air yang cukup untuk membasahi kulitnya maka gunakanlah. Namun, apabila tidak cukup, maka jangan digunakan, karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan hendaknya membasuh sebagian kulitnya.

    C. Tayammum disyariatkan sebagai pengganti wudhu dan mandi. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk berwudhu dan mandi lalu Allâh Azza wa Jalla mengalihkannya kepada tayammum ketika tidak bisa menggunakan air. Allâh Azza wa Jalla tidak memerintahkan untuk menggabungkan keduanya. Sehingga yang wajib adalah mengerjakan salah satu dari dua; air atau debu (permukaan bumi).

    Pendapat kedua inilah yang rajih karena mencukupkan diri dengan tayammum sangat meringankan dan bisa menghilangkan kesulitan dari mukallaf. Wallâhu a’lam.

    DIANTARA KEADAAN SESEORANG BERSUCI DENGAN TAYAMMUM

    Bertayammum juga disyariatkan ketika tidak mampu menggunakan air karena takut madharat yang muncul dari penggunaan air, seperti orang yang sakit atau dalam kondisi sangat dingin sekali tanpa ada pemanas air atau takut kehausan bila menggunakan persediaan air yang ada.

    Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al Fauzan hafidzahullah menyebutkan beberapa keadaan yang dapat menyebabkan seseorang bersuci dengan tayammum, yaitu:

    1. Jika tidak ada air, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُواlalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah. [Al-Maidah/5:6]

    Hal ini berlaku baik dalam keadaan mukim atau safar (dalam perjalanan) dan telah mencari air namun tidak mendapatkannya.

    2. Dia membawa air yang dibutuhkan untuk minum dan memasak, seandainya ia gunakan untuk bersuci tentu tidak terpenuhi kebutuhannya, sehingga khawatir dia kehausan atau orang lain yang bersamanya kehausan ataupun hewan ternak.

    3. Khawatir jika bersuci dengan air akan membahayakan badan atau semakin lama sembuh dari sakit. berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih) [Al-Maidah/5:6]

    4. Tidak mampu menggunakan air karena sakit tidak mampu bergerak untuk mengambil air wudhu dan tidak adanya orang yang mampu membantu untuk berwudhu dengan kekhawatiran habisnya waktu shalat.

    5. Khawatir kedinginan jika menggunakan air dan tidak adanya yang dapat menghangatkan air tersebut, maka bertayammum dan shalat, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْDan janganlah kamu membunuh dirimu [an-Nisâ’/4:29]

    Maka dalam kondisi-kondisi seperti di atas seseorang bertayammum dan melakukan shalat.

    Demikian beberapa masalah tentang tayammum semoga bermanfaat. Wallâhu a’lam.

    [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XXI/1439H/2017M]

  • Mandi

    a. Pengertian Mandi Besar

    Mandi besar, mandi junub atau mandi wajib adalah mandi dengan menggunakan air suci dan bersih (air mutlak) yang mensucikan dengan mengalirkan air tersebut ke seluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tujuan mandi wajib adalah untuk menghilangkan hadas besar yang harus dihilangkan sebelum melakukan ibadah sholat

    b. Hal – hal yang mewajibakan Mandi

    1) Mengeluarkan air mani baik disengaja maupun tidak sengaja

    2) Melakukan hubungan seks / hubungan intim / bersetubuh

    3) Selesai haid / menstruasi

    4) Melahirkan (wiladah) dan pasca melahirkan (nifas)

    5) Meninggal dunia yang bukan mati syahid

    Bagi mereka yang masuk dalam kategori di atas maka mereka berarti telah mendapat hadas besar dengan najis yang harus dibersihkan. Jika tidak segera disucikan dengan mandi wajib maka banyak ibadah orang tersebut yang tidak akan diterima Allah SWT .

    c. Rukun – rukun Mandi

    Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan selama mandi karena wajib untuk dilakukan :

    1. Membaca niat : “Nawaitul ghusla lirof’il hadatsil akbari fardlol lillaahi ta’aalaa” yang artinya “AKu niat mandi wajib untuk menghilangkan hadas besar fardlu karena Allah”.

    2. Membilas/membasuh seluluh badan dengan air (air mutlak yang mensucikan) dari ujung kaki ke ujung rambut secara merata.

    3. Hilangkan najisnya bila ada .

    d. Sunat – sunat mandi

    Berikut ini adalah hal-hal yang boleh-boleh saja dilakukan (tidak wajib hukum islamnya) :

    1) Sebelum mandi membaca basmalah.

    2) Membersihkan najis terebih dahulu.

    3) Membasuh badan sebanyak tiga kali

    4) Melakukan wudhu/wudlu sebelum mendi wajib

    5) Mandi menghadap kiblat

    6) Mendahulukan badan sebelah kanan daripada yang sebelah kiri

    7) Membaca do’a setelah wudhu/wudlu

    Dilakukan sekaligus selesai saat itu juga (muamalah)

    Tambahan :

    Orang yang sedang hadas besar tidak boleh melakukan shalat, membaca al’quran, thawaf, berdiam di masjid, dan lain-lain.

    e. Mandi sunat

    1) Mandi untuk Shalat jum’at

    2) Mandi untuk Shalat hari raya

    3) Sadar dari kehilangan kesadaran akibat pingsan, gila, dbb

    4) Muallaf (baru memeluk/masuk agama islam)

    5) Setelah memendikan mayit/mayat/jenazah

    6) Saat hendak Ihram

    7) Ketika akan Sa’i

    Ketika hendak thawaf

    9) dan lain sebagainya

    f. Hal- hal yang haram dilakukan oleh orang yang junub sebelum melakukan Mandi

    Bagi seseorang yang sedang dalam keadaan junub diharamkan melakukan suatu perbuatan yang bersifat syar’iyah yang tergantung pada wudhu sebelum orang tersebut mandi besar.

  • Wudhu dan hal-hal yang membatalkannya

    Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan pembuangan (kencing, tinja, angin, madziy, atau wadiy) adalah membatalkan wudhu, kecuali mani yang mengharuskannya mandi.

    Dalilnya adalah firman Allah, “… atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, …..” (QS. Al Maidah: 6) dan
    sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,

    لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ“

    Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats sehingga dia berwudhu.” (Mutaafaq ‘alaih).

    Tentang mani, madzi, dan wadi Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

    الْمَنِىُّ وَالْمَذْىُ وَالْوَدْىُ ، أَمَّا الْمَنِىُّ فَهُوَ الَّذِى مِنْهُ الْغُسْلُ ، وَأَمَّا الْوَدْىُ وَالْمَذْىُ فَقَالَ : اغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ.“

    Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.” (HR. Al Baihaqi no. 771).

    Perkara lain yang membatalkan wudhu tersebut antara lain;

    Tidur lelap yang tidak menyisakan daya ingat, seperti dalam hadits Shafwan bin ‘Assal ra berkata:

    كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفْرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ“

    Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh kami jika dalam perjalanan untuk tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam, sebab buang air kecil, air besar maupun tidur, kecuali karena junub.” (HR. Ahmad, An Nasa’iy, At Tirmidzi dan menshahihkannya).

    Dalam hadits di atas, kata ‘tidur’ disebutkan bersama dengan buang air kecil dan air besar yang telah diketahui sebagai pembatal wudhu. Sedang tidur dengan duduk tidak membatalkan wudhu jika tidak bergeser tempat duduknya. Hal ini tercantum dalam hadits Anas ra, yang diriwayatkan oleh Asy Syafi’iy, Muslim, Abu Daud:

    كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حَتَّى تَخْفِقَ رُءُوسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ

    “Adalah para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pada masa Nabi menunggu shalat isya’ sehingga kepala mereka tertunduk, kemudian mereka shalat tanpa berwudhu.”

    Hilang akal baik karena gila, pingsan, atau mabuk. Karena hal ini menyerupai tidur dari sisi hilangnya kesadaran.

    Dua hal di atas disepakati sebagai pembatal wudhu, dan para ulama berbeda pendapat dalam beberapa hal berikut ini:

    Menyentuh kemaluan tanpa sekat, membatalkan wudhu menurut Syafi’iy, dan Ahmad, seperti dalam hadits Buroh binti Shafwan, bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ“

    Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud no. 181, An Nasa-i no. 447, dan At Tirmidzi no. 82)

    Al Bukhari berkata: “Inilah yang paling shahih dalam bab ini. Telah diriwayatkan pula hadits yang mendukungnya dari tujuh belas orang sahabat.”

    Menurut madzhab Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Malik dan merupakan pendapat beberapa sahabat, disebutkan bahwa menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu sama sekali. Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadits dari Tholq bin ‘Ali di mana ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya,

    مَسِسْتُ ذَكَرِى أَوِ الرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِى الصَّلاَةِ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ قَالَ « لاَ إِنَّمَا هُوَ مِنْكَ

    “Aku pernah menyentuh kemaluanku atau seseorang ada pula yang menyentuh kemaluannya ketika shalat, apakah ia diharuskan untuk wudhu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kemaluanmu itu adalah bagian darimu.” (HR. Ahmad 4/23. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)

    Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas ia bertanya,

    يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا تَرَى فِى رَجُلٍ مَسَّ ذَكَرَهُ فِى الصَّلاَةِ قَالَ « وَهَلْ هُوَ إِلاَّ مُضْغَةٌ مِنْكَ أَوْ بَضْعَةٌ مِنْكَ ».“

    Wahai Rasulullah, apa pendapatmu mengenai seseorang yang menyentuh kemaluannya ketika shalat?” Beliau bersabda, “Bukankah kemaluan tersebut hanya sekerat daging darimu atau bagian daging darimu?” (HR. An Nasa-i no. 165. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berhujah dengan hadits ini, maka itu pertanda beliau menshahihkannya. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 21/241)

    Darah yang mengucur, membatalkan wudhu menurut Abu Hanifah, seperti dalam hadits Aisyah ra bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    مَنْ أَصَابَهُ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذْيٌ فَلْيَنْصَرِفْ فَلْيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَبْنِ عَلَى صَلَاتِهِ وَهُوَ فِي ذَلِكَ لَا يَتَكَلَّمُ أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَ ه وَضَعَّفَهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ“

    Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan darah dari hidung (mimisan) atau mengeluarkan dahak atau mengeluarkan madzi maka hendaklah ia berwudlu lalu meneruskan sisa shalatnya namun selama itu ia tidak berbicara” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah namun dianggap lemah oleh Ahmad dan Al Baihaqi).

    Menurut Asy Syafi’iy dan Malik bahwasannya keluarnya darah tidak membatalkan wudhu. Karena hadits yang menyebutkannya tidak kokoh menurutnya, juga karena hadits Anas ra:

    ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍﺣْﺘَﺠَﻢَ ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﻭﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄ

    ‎“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan shalat setelahnya tanpa berwudhu.” (HR. Ad-Daraquthni, 1/157 dan Al-Baihaqi, 1/141)

    Hadits ini meskipun tidak sampai pada tingkat shahih, tetapi banyak didukung hadits lain yang cukup banyak. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

    مَا زَالَ الْمُسْلِمُونَ يُصَلُّونَ فِى جِرَاحَاتِهِمْ“

    Kaum muslimin (yaitu para sahabat) biasa mengerjakan shalat dalam keadaan luka.”(HR Al Bukhariy).

    Muntah yang banyak dan menjijikkan, seperti dalam hadits Ma’dan bin Abi Thalahah dari Abu Darda’

    ,أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاءَ فَأَفْطَرَ فَتَوَضَّأَ فَلَقِيتُ ثَوْبَانَ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ صَدَقَ أَنَا صَبَبْتُ لَهُ وَضُوءَهُ”

    Bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam muntah lalu berwudhu. Ia berkata: Kemudian aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, aku tanyakan kepadanya tentang ini. Ia menjawab: “Betul, saya yang menuangkan air wudhunya.” (HR At Tirmidziy dan mensahihkannya).

    Demikianlah madzhab Hanafiy. Dan menurut Syafi’iy dan Malik bahwa muntah tidak membatalkan wudhu, karena tidak ada hadits yang memerintahkannya. Hadits Ma’dan di atas dimaknai Istihbab/sunnah.

    Menyentuh lawan jenis atau bersalaman, membatalkan wudhu menurut Syafi’iyah, karena firman Allah, “…dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)…” (QS. Al Maidah:6).

    Namun tidak membatalkan menurut jumhurul ulama, karena banyaknya hadits yang menyatakan tidak membatalkannya. Diantaranya hadits,

    عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُول اللَّهِ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلِي فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا

    Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata, “Aku sedang tidur di depan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan kakiku berada pada arah kiblatnya. Bila Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sujud, beliau beliau sentuh kakiku sehingga kutarik kedua kakiku. Jika beliau bangkit berdiri kembali kuluruskan kakiku.”(HR Bukhari Muslim).

    وَعَنْهَا أَنَّهُ قَبَّل بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

    Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu’ lagi. (HR. Tirmizy)

    Tertawa terbahak-bahak membatalkan wudhu menurut madzhab Hanafi, karena ada hadits,

    أَنَّ أَعْمَى تَرَدَّى فِي بِئْرٍ , فَضَحِكَ نَاسٌ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ضَحِكَ أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ وَالصَّلاةَ“

    Bahwasannya ada seorang buta yang terjatuh ke dalam sumur, lantas tertawalah orang-orang yang sholat di belakang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh siapa saja yang tertawa agar mengulangi sholat dan wudhu.” (HR. Ad-Daruqutni)

    Sedang menurut jumhurul ulama tertawa terbahak-bahak membatalkan shalat tetapi tidak membatalkan wudhu. Juga karena hadits Nabi:

    الضَّحِكُ يُنْقِضُ الصَّلَاةَ وَلَا يُنْقِضُ الْوُضُوءَ“

    Tertawa itu membatalkan shalat, dan tidak membatalkan wudhu.” (Sunan Ad-Daruquthni, no. 658).

    Jika orang yang berwudhu ragu apakah sudah batal atau belum, maka hal itu tidak membatalkan wudhu sehingga ia yakin bahwa telah terjadi sesuatu yang membatalkan wudhu. Karena hadits Nabi menyatakan,

    إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا, فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ: أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ, أَمْ لَا? فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ اَلْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا, أَوْ يَجِدَ رِيحًا – أَخْرَجَهُ مُسْلِم“

    Jika salah seorang di antara kalian mendapati ada terasa sesuatu di perutnya, lalu ia ragu-ragu apakah keluar sesuatu ataukah tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.” Diriwayatkan oleh Muslim. (HR. Muslim no. 362).

    Sedang jika ragu apakah sudah wudhu atau belum maka ia wajib berwudhu sebelum shalat.

  • Adab Buang Hajat

    Membuang hajat adalah perkara yang biasa kita lakukan setiap harinya. Namun, sangat disayangkan, banyak di antara kita yang tidak mengetahui adab-adab yang dituntunkan di dalamnya. Padahal syariat agama kita yang sempurna telah mengajarkan permasalahan ini.

    Pernah kaum musyrikin berkata kepada Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, “Nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampaipun perkara adab buang hajat.” Salman menjawab, “Ya, beliau mengajarkan kami adab buang hajat.” (HR. Muslim no. 262)

    Doa Sebelum Buang Hajat

    Perkara awal yang perlu diperhatikan dari Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini adalah ketika seseorang akan masuk ke tempat buang hajat (WC, toilet, dan semisalnya) hendaknya ia mengucapkan doa,

    اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ“

    Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan.” (HR. al-Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375)

    Karena WC, toilet, dan semisalnya merupakan tempat kotor yang dihuni oleh setan maka sepantasnya seorang hamba meminta perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar ia tidak ditimpa oleh kejelekan makhluk tersebut. (asy-Syarhul Mumti’, 1/83)

    Membaca doa ini merupakan adab yang disepakati istihbab (sunnah)-nya, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara buang hajat di tempat yang berupa bangunan ataupun di padang pasir. (Syarah Shahih Muslim, 4/71)

    Sementara itu, apabila di padang pasir (tempat yang terbuka), doa ini dibaca tatkala hendak ditunaikannya hajat, seperti ketika seseorang menyingkap pakaiannya. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Mereka juga mengatakan, kalau seseorang lupa membaca doa ini maka ia membacanya dalam hati. (Fathul Bari, 1/307)

    Langkah Kaki Ketika Masuk dan Keluar WC

    Telah diketahui bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mendahulukan bagian yang kanan dalam seluruh keadaan beliau. (HR. al-Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)

    Hadits di atas menunjukkan keumuman. Namun, khusus pada keadaan-keadaan tertentu dimulai dengan yang kiri, seperti apabila beliau masuk WC, keluar dari masjid, dan yang semisalnya. Demikian dinyatakan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied. (Syarah ‘Umdatil Ahkam, 1/44)

    Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Merupakan kaidah yang berkesinambungan dalam syariat di mana tangan/kaki kanan didahulukan dalam melakukan perkara yang mulia, seperti memakai pakaian, celana, dan sandal; masuk masjid, bersiwak, bercelak, menggunting kuku, mencukur kumis, menyisir rambut, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut, salam ketika selesai shalat, mencuci anggota wudhu, keluar dari WC, makan, minum, berjabat tangan, menyentuh hajar aswad, serta selainnya dari perkara yang semisal di atas. Semua itu disenangi untuk memulai dengan bagian kanan. Adapun lawan dari perkara di atas, seperti masuk WC, keluar dari masjid, istinja’, melepas pakaian, celana, sandal, dan yang semisalnya, disenangi untuk memulai dengan tangan/kaki kiri.” (Syarah Shahih Muslim, 3/160; al-Majmu’, 2/95)

    Menutup Diri

    Abdullah bin Ja‘far radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memboncengkan aku di belakangnya. Lalu beliau membisikkan kepadaku satu pembicaraan yang aku tidak akan memberitahukannya kepada seorang pun selama-lamanya. Adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi menjadikan tempat yang tinggi (berupa bangunan atau selainnya) dan kebun kurma sebagai tempat berlindung (menutup diri) ketika buang hajat.” (HR. Muslim no. 342)

    Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan disenanginya menutup diri ketika seseorang sedang buang hajat dengan apa saja yang dapat mencegah/menghalangi pandangan orang terhadapnya ketika itu. Dimungkinkan buang hajat beliau di kebun kurma bukan pada saat kurma itu berbuah.” (Nailul Authar, 1/117)

    Apabila hendak buang hajat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengangkat pakaiannya sampai beliau turun untuk jongkok di atas tanah. Hal ini beliau lakukan untuk menjaga aurat. (Zadul Ma’ad, 1/44; ad-Dararil Mudhiyyah hlm. 23)

    Menjauh dari Pandangan Manusia

    Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Kabar yang pasti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya bila ingin buang hajat beliau pergi ke tempat yang jauh dari penglihatan manusia. Namun, bila sekadar buang air kecil beliau tidak menjauh dari mereka.” (al­-Ausath, 1/321)

    Hal ini sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi untuk membuang hajat hingga tersembunyi dari para sahabatnya. (HR. al-Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274 dari al-Mughirah ibnu Syu’bah radhiyallahu ‘anhu)

    Abdurrahman bin Abi Qurad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke tempat buang hajat. Kebiasaan beliau ketika buang hajat adalah pergi menjauh dari manusia.” (HR. an-Nasa’i no. 16 dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih, 1/495)

    Saking menjauhnya beliau dari manusia sampai-sampai beliau pergi ke Mughammas (sebuah tempat yang jauhnya sekitar dua mil dari kota Makkah) untuk keperluan buang hajat ini. (HR. Abu Ya’la, 9/476 dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih, 1/495)

    Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila ingin buang hajat dalam safarnya pergi hingga tersembunyi dari pandangan para sahabatnya. Terkadang beliau menjauh sampai dua mil. Beliau menutup dirinya ketika buang hajat, terkadang dengan berlindung di balik tempat tinggi, terkadang di balik kebun kurma, dan terkadang dengan pepohonan yang tumbuh di lembah.” (Zadul Ma’ad, 1/43)

    Berbeda halnya ketika buang air kecil, sebagaimana dikatakan Ibnul Mundzir di atas, beliau tidak menjauh dari manusia. Bahkan, Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Aku pernah berjalan-jalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lalu mendatangi tempat pembuangan sampah yang terletak di belakang tembok. Beliau berdiri di situ sebagaimana salah seorang dari kalian berdiri lalu beliau buang air kecil. Aku pun menyingkir dari beliau, namun beliau memberi isyarat kepadaku maka aku pun mendatanginya. Aku berdiri di belakang beliau hingga beliau selesai dari hajatnya.” (HR. al-Bukhari no. 225 dan Muslim no. 273)

    Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan beliau tidak menjauh dari Hudzaifah ketika buang air kecil.”

    Adapun sebab tidak menjauhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika buang air kecil dijelaskan oleh al-Hafizh, “Buang air kecil lebih ringan daripada buang air besar, karena buang air besar butuh untuk lebih membuka aurat dan bau yang ditimbulkan lebih menyengat. Sementara itu, tujuan menjauh dari manusia adalah untuk menutup diri dari penglihatan mereka, dan ini terpenuhi dengan membentangkan pakaian serta mendekat kepada sesuatu yang dapat menutupi.” (Fathul Bari, 1/411)

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Hudzaifah untuk mendekat kepada beliau agar Hudzaifah menutupi beliau dari pandangan manusia, karena buang air kecil merupakan keadaan yang memalukan bila terlihat oleh orang lain. (Syarah Shahih Muslim, 3/167)

    Dengan demikian, dituntunkan kepada kita untuk menjauh dari manusia ketika buang air besar. Sementara itu, ketika buang air kecil boleh dilakukan di dekat orang lain, namun harus tetap memerhatikan tertutupnya aurat agar tidak terlihat orang lain. (al-Jami’ush Sahih, 1/496)

    Tidak Memasukkan Sesuatu yang Mengandung Dzikrullah ke WC

    Seseorang yang buang hajat lebih utama baginya untuk tidak membawa sesuatu yang padanya tertera zikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala seperti Al-Qur’an dan lainnya, yang di dalamnya ada penyebutan nama Allah subhanahu wa ta’ala.

    Dalam permasalahan ini, dalil yang sering dibawakan adalah hadits peletakan cincin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika akan masuk WC. Namun, hadits ini lemah, ma’lul (berpenyakit) sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Tahdzibus Sunan serta ulama ahli hadits yang lainnya.

    Ketika membawakan hadits ini, al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan dalam Subulus Salam (1/113), “Sesuatu yang di dalamnya tertera nama Allah ‘azza wa jalla harus dijaga dari tempat-tempat yang jelek/kotor. Ini tidak khusus berupa cincin saja, namun meliputi seluruh benda yang dipakai yang padanya ada dzikrullah.”

    Meski demikian, sebagian ulama yang lain menganggap makruh (dibencinya) perkara ini, bahkan haram apabila yang dimasukkan itu berupa al-Qur’an, karena termasuk penghinaan. Penulis kitab al-Furu’ mengatakan, “Dibenci untuk membawa sesuatu yang mengandung dzikrullah tanpa ada keperluan.” (al-Furu’, 1/83)

    Larangan Menghadap dan Membelakangi Kiblat

    Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوْهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا“

    Apabila kalian mendatangi tempat buang air maka janganlah kalian menghadap ke arah kiblat ketika buang air besar ataupun kencing, serta jangan pula membelakangi kiblat. Akan tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat[1].” (HR. al-Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264)

    Dari hadits di atas dipahami adanya larangan menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat. Namun, dalam permasalahan ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.

    Ada yang berpendapat perbuatan ini haram secara mutlak, baik di WC (tempat yang tertutup/berbentuk bangunan) maupun di tempat terbuka.

    Ada yang membolehkan secara mutlak dan ada pula yang merinci.

    Perselisihan ini terjadi karena selain hadits larangan sebagaimana tercantum di atas, didapatkan pula hadits lain yang menunjukkan kebolehannya seperti hadits Abdullah ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah menaiki rumah Hafshah[2] karena suatu keperluan. Ketika itu aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang hajat menghadap ke arah Syam dan membelakangi Ka’bah.” (HR. al-Bukhari no. 148 dan Muslim no. 266)

    Demikian pula hadits Jabir bin Abdillah al-Anshari radhiyallahu ‘anhuma, “Sungguh, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk membelakangi dan menghadap kiblat dengan kemaluan-kemaluan kami apabila kami buang air. Kemudian aku melihat beliau kencing menghadap kiblat setahun sebelum meninggalnya.” (HR. Ahmad 3/365 dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih, 1/493)

    Dari perselisihan yang ada, yang rajih (kuat) adalah pendapat yang merinci. Bila di luar bangunan seperti di padang pasir, haram untuk menghadap atau membelakangi kiblat. Sementara itu, di dalam bangunan tidaklah diharamkan.

    Ini adalah pendapat al-Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan asy-Sya’bi, dan ini merupakan pendapat jumhur ahli ilmu. (Syarah Shahih Muslim 3/154, Syarah Sunan an-Nasa’i lis Suyuthi 1/26)

    Namun, sepantasnya seseorang menghindari arah kiblat ketika buang hajat di dalam bangunan (WC dan semisalnya), dalam rangka berhati-hati dari hadits-hadits yang menunjukkan larangan akan hal ini. Selain itu, karena adanya perselisihan yang kuat dalam permasalahan ini yang didukung oleh para ulama ahli tahqiq (peneliti). (Taisirul ‘Allam, 1/55)

    Boleh Kencing Berdiri

    Al-Imam al-Bukhari rahimahullah ketika membawakan hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu yang menerangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing berdiri sebagaimana telah lewat di atas, beliau mengatakan dengan judul bab (Bolehnya) Kencing Berdiri dan Jongkok. Jadi, dipahami di sini bolehnya kencing dalam keadaan berdiri dan duduk, walaupun dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat di kalangan ahli ilmu.

    Didapatkan pula dari perbuatan sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, ‘Umar ibnul Khaththab, Zaid bin Tsabit, dan selainnya radhiyallahu ‘anhum, mereka kencing dengan berdiri. Ini menunjukkan perbuatan ini dibolehkan dan tidak makruh apabila memang aman dari percikan air kencing. (‘Aunul Ma’bud, 1/29)

    Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Sebagian ahlul ilmi menyenangi bagi orang yang kencing dalam keadaan duduk untuk menjauh dari manusia. Mereka juga memandang tidak apa-apa kencing di dekat orang lain bila dilakukan dengan berdiri karena kencing dalam keadaan berdiri lebih menjaga dubur dan lebih selamat dari percikan najis. Pendapat seperti ini diriwayatkan dari ‘Umar.” (al-Ausath, 1/322)

    Berhati-Hati dari Percikan Najis

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati dua kuburan dan mengabarkan,

    إِنَّهُمَا يُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ. ثُمَّ قَالَ: بَلَى، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ“

    Dua penghuni kuburan ini sedang diazab. Tidaklah mereka diazab karena perkara yang besar.” Kemudian Rasulullah mengatakan, “Bahkan ya. Adapun salah satunya, ia diazab karena tidak berhati-hati/ tidak menjaga dirinya dari kencing….” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 216 dan Muslim no. 292, dengan lafadz al-Bukhari)

    Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah mengatakan, “Kedua penghuni kuburan itu tidaklah diazab karena perkara yang sulit untuk menghilangkannya atau mencegahnya, serta berhati-hati darinya. Maksudnya, perkara itu sebenarnya mudah, gampang bagi orang yang (mau) menjaga diri darinya.”

    Beliau juga berkata, “Dua perkara ini termasuk dosa besar.” (Syarah ‘Umdatil Ahkam, 1/62)

    Tidak berhati-hati dari kencing sehingga menajisi tubuh merupakan penyebab azab kubur sebagaimana diberitakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas, padahal mungkin perkara ini dianggap sepele oleh kebanyakan orang.

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dengan merenggangkan/menjauhkan kedua kaki ketika duduk untuk buang hajat guna menghindari percikan air kencing.

    Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu berkata, “Telah menceritakan kepadaku orang yang melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau kencing dalam keadaan jongkok dengan merenggangkan kedua kaki beliau selebar-lebarnya, sehingga kami mengira pangkal paha beliau akan terlepas.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, 1/121 dan dinyatkaan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’ush Shahih, 1/500)

    Tidak Berbicara

    Tidak sepantasnya seseorang berbicara dengan jenis pembicaraan apa pun ketika sedang buang hajat kecuali bila memang terpaksa, sebagaimana dikatakan oleh para fuqaha.

    Keadaan terpaksa itu seperti ia melihat seorang buta berjalan menuju sumur dan dikhawatirkan akan terperosok ke dalamnya, ada orang yang mengajaknya bicara dan mau tidak mau harus menjawabnya, ia punya keperluan kepada seseorang dan khawatir orang itu akan berlalu, ia meminta air, atau ada binatang berbisa yang hendak menggigit seseorang sementara orang itu tidak melihatnya dan semisalnya. Dalam keadaan seperti ini dibolehkan berbicara. (al-Majmu’, 2/107, asy-Syarhul Mumti’, 1/95)

    Termasuk pembicaraan yang dilarang adalah menjawab salam dan ucapan zikir lainnya.

    Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam Syarhus Sunnah, “Bila seseorang bersin dalam keadaan ia sedang buang hajat maka ia mengucapkan tahmid (alhamdulillah) di dalam hati.”

    Demikian pula yang dikatakan oleh al-Hasan, asy-Sya’bi, an-Nakha’i, dan Ibnul Mubarak.

    Larangan berzikir di sini merupakan larangan makruh menurut kesepakatan yang ada. Ibnul Mundzir menghikayatkan makruhnya hal ini dari Ibnu Abbas, ‘Atha, Ikrimah, an-Nakha’i, dan Ibnu Sirin. Ibnul Mundzir juga mengatakan, “Meninggalkan zikir ketika buang hajat lebih aku sukai, namun aku tidak menganggap berdosa orang yang melakukannya.” (al-Majmu’, 2/108, al-Furu’, 1/84)

    Larangan Istinja’ dengan Tangan Kanan

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk menyentuh kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing dan ketika istinja’ (cebok), sebagaimana sabdanya,

    لاَ يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ، وَلاَ يَتَمَسَّحْ مِنَ الْخَلاَءِ بِيَمِينِهِ“

    Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya ketika sedang kencing dan jangan pula cebok dengannya setelah buang hajat.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 154 dan Muslim no. 267)

    Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Larangan istinja’ dengan tangan kanan termasuk salah satu adab dalam istinja’. Ulama sepakat tentang dilarangnya perkara ini. Jumhur ulama berpendapat larangan di sini menunjukkan makruhnya bukan haram.”

    Kemudian beliau berkata, “Memegang kemaluan dengan tangan kanan hukumnya makruh.” (Syarah Shahih Muslim, 3/156, 159)

    Larangan Bersuci dengan Tulang dan Kotoran Hewan yang Telah Mengering/Membatu (Rautsah)

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu untuk mencari batu guna keperluan bersuci beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    ,وَلاَ تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلاَ بِرَوْثَةٍ“

    Jangan engkau datangkan untukku tulang dan jangan pula rautsah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 155)

    Di waktu yang lain, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah diminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencari tiga batu untuk bersuci. Namun, ia hanya mendapatkan dua batu, sehingga ia mengambil rautsah lalu diserahkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lalu mengambil dua batu tersebut dan membuang rautsah, seraya berkata, “Ini adalah kotoran.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 156)

    Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak boleh bersuci dengan menggunakan rauts ataupun tulang. Bersuci dengan keduanya tidaklah mencukupi, demikian pendapat mayoritas ahli ilmu. Ini juga pendapat ats-Tsauri, asy-Syafi’i, dan Ishaq.” (al-Mughni, 1/104)

    Doa Keluar dari Tempat Buang Hajatغُفْرَانَكَ“Aku memohon pengampunan-Mu.” (HR. at-Tirmidzi no. 8, Abu Dawud no. 28, Ibnu Majah no. 296, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalil no. 52)

    Doa di atas diucapkan ketika seseorang keluar dari tempat buang hajat. Kesesuaian doa ini dengan keadaan tersebut adalah setelah seseorang diringankan dan dilindungi dari gangguan fisik, dia akan teringat gangguan berupa dosa. Maka dari itu, dia meminta kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar meringankan dosanya dan mengampuninya, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala telah menganugerahkan perlindungan kepadanya dari gangguan fisik. (asy-Syarhul Mumti’, 1/84)

    Di samping itu, kekuatan manusia itu amatlah terbatas untuk mensyukuri nikmat yang dicurahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala berupa makanan, minuman, dan pengaturan zat makanan di dalam tubuh sesuai dengan kebutuhan sampai akhirnya dikeluarkan sisanya dari tubuh. Oleh karena itu, sepantasnya seorang hamba memohon ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagai pengakuan akan kekurangan tersebut dari apa yang sepatutnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 1/42)

    Tempat Terlarang untuk Buang Hajat

    Air yang tidak mengalir.

    لاَ يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لاَ يَجْرِي“.

    Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing di air yang diam yang tidak mengalir.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 239 dan Muslim no. 282)

    Yang rajih (kuat) dari larangan di sini adalah menunjukkan keharamannya. Baik air yang tidak mengalir itu banyak maupun sedikit, kencing maupun buang air besar, terlebih buang air besar ini lebih jelek daripada kencing. Perkara yang juga terlarang dalam permasalahan ini adalah jika seseorang kencing di dalam bejana kemudian dia buang air kencing tersebut ke air yang tidak mengalir tersebut. Sementara itu, tidaklah terlarang membuang hajat pada air yang mengalir, namun lebih baik dijauhi. Terlebih lagi bila air yang mengalir itu sedikit. (Syarah Shahih Muslim, 3/187—188, Subulus Salam, 1/34—35)

    Lubang

    لاَ يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْجُحْرِ

    “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing di lubang (yang biasa digali oleh binatang sebagai tempat persembunyiannya).” (HR. Ahmad no. 19847 dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’ush Shahih, 1/499)

    Qatadah rahimahullah, salah seorang perawi hadits ini, ditanya oleh murid-muridnya tentang alasan pelarangan di atas. Qatadah pun menjawab, “Lubang-lubang itu adalah tempat tinggal jin.”[3] (al-Jami’ush Shahih, 1/499) Di samping itu, tentu juga mengganggu hewan yang ada di dalamnya.

    Jalan yang dilewati manusia dan tempat mereka bernaung

    اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ. قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِي ظِلِّهِمْ“

    Berhati-hatilah kalian dari dua hal yang dilaknat (oleh manusia).”

    Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan dua penyebab orang dilaknat?”

    Beliau menjawab, “Orang yang buang hajat di jalan yang biasa dilalui manusia[4] atau di tempat yang biasa mereka bernaung.” (Sahih, HR. Muslim no. 269)

    Al-Khaththabi rahimahullah dan ulama selainnya berkata, “Yang dimaukan dengan tempat naungan adalah tempat yang dijadikan oleh manusia untuk bernaung, mereka singgah dan duduk di situ.” (Syarah Shahih Muslim, 3/163)

    Buang hajat di tempat demikian dilarang karena mengganggu kaum muslimin dengan menajisi dan mengotori tempat lalu-lalang mereka. (Syarah Shahih Muslim, 3/163)

    Sementara itu, memberikan gangguan kepada kaum muslimin itu diharamkan. (ad-Darari, 24, asy-Syarhul Mumti’, 1/102)

    Ada lagi tempat-tempat terlarang lainnya untuk buang hajat, seperti di mata air atau sungai yang digunakan manusia untuk minum dan wudhu, di bawah pohon yang sedang berbuah walaupun tidak digunakan untuk bernaung, dan di tepi sungai yang mengalir, serta di pintu-pintu masjid.

    Namun, hadits yang menyebutkan tempat-tempat tersebut semuanya lemah. Hanya saja yang menjadi patokan kita adalah tidak boleh memberikan gangguan kepada manusia, sehingga kita harus menghindari buang hajat di tempat-tempat mana saja yang biasa dimanfaatkan oleh mereka.

    Sumber (Bulughul Maram, 41, Subulus Salam, 1/117, al-Furu’, 1/86)

  • Air dan Najis

    Menurut ilmu fikih, diterangkan bahwa air yang punya faktor dalam keseharian manusia ini mempunyai bermacam-macam jenis, jika dilihat dari segi hukumnya. Artinya ada air yang secara hukum dianggap sah untuk bersuci dan ada air yang tidak sah, yang tidak boleh digunakan untuk bersuci.

    Dalam ilmu pengetahuan alam tentu kita juga pernah belajar mengenai air. Air mempunyai banyak jenisnya. Dalam konteks bersuci atau thaharah ini, air yang dianggap sah untuk mensucikan diri ini, adalah:

    1. Air hujan
    2. Air sungai (air yang mengalir)
    3. Air laut
    4. Air embun
    5. Air sumur
    6. Air sumber (atau mata air)
    7. Air es atau air salju (butiran-butiran uap air yang membeku)

    Ketujuh air tersebut adalah masuk kriteria air asli atau air yang suci, dikarenakan semuanya bersumber asli baik itu dari langit ataupun dari tanah.

    Macam – Macam Air

    Setelah mengetahui air yang bermacam-macam tadi, barulah kemudian ada pembagian macam-macam air, yang semua airnya masih sama dengan tujuh macam air yang di atas tadi, tetapi karena beberapa faktor, baik akibat tercampur dengan seseuatu yang lain atau tidak berubah atau berubah dengan sendirinya. Maka, hukum air tersebut menjadi sudah tidak asli atau tidak mutlak lagi.

    Berdasarkan kondisi yang seperti itulah air tersebut terbagi lagi menjadi macam-macam air. Macam-macam air ini terbagi menjadi empat macam:

    1. Air Asli atau air Mutlak

    Air asli atau air mutlak ini adalah air yang dapat digunakan untuk bersuci. Maksudnya adalah air ini mempunyai hukum suci dan bisa digunakan untuk mensucikan. Penjelasan air suci ini sama dengan penjelasan air asli di atas.

    Ada juga air yang masih suci mensucikan tetapi makruh menggunakannya mensucikan anggota badan (bukan pakaian). Semisal air asli yang berada dalam wadah yang terbuat dari emas dan perak, yang sengaja dipanaskan dengan pancaran sinar matahari. Air seperti ini dimakruhkan penggunaannya karena bisa mengganggu kesehatan kulit manusia.

    2. Air Musta’mal

    Air musta’mal adalah air yang sudah dipakai untuk bersuci atau menghilangkan najis pada diri seseorang. Semisal air yang sudah atau yang terpecikkan ketika seseorang sedang berwudhu.

    Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ada yang menganggapnya suci dan tetapi tidak dapat mensucikan (karena sudah terpakai) . Ada pula yang berpendapat suci tapi dan masih mensucikan selama tidak ada perubahan rasa, warna dan bau.

    3. Air yang telah bercampur dengan sesuatu yang suci

    Misalnya air yang bercampur dengan tepung, garam, dan lain-lainnya. Air ini masih dihukumi suci mensucikan selama kadar kemutlakan air masih terpelihara. Adapun jika kadar kemutlakan air tersebut sudah tidak bisa terjaga sehingga merubah salah satu sifat air. Maka hukum air tersebut adalah suci tetapi tidak dapat digunakan untuk mensucikan sesuatu yang lain

    4. Air Najis

    Awal dari air najis adalah air mutlak. Oleh sebab itulah Air najis ini adalah terbagi menjadi dua:

    Pertama, jika suatu najis tersebut sampai merubah salah satu sifat air (rasa, bau, dan warna), maka hukum air tersebut sudah menjadi air yang najis. (air yang tidak di-ma’fu)

    Kedua, bila suatu najis tersebut ada pada air mutlak tetapi tidak merubah dari tiga sifat air tersebut maka hukumnya masih suci dan mensucikan. (air yang di-ma’fu)

    Pengertian Najis

    Jika telah kita baca fungsi air yang dapat membersihkan diri dari najis dan kotoran, baik yang ada maupun pakaian. Di sini kita akan membahas mengenai najis itu sendiri dan macam-macamnya.

    Najis adalah segala sesuatu yang oleh syara’ dipandang kotor dan menjadi sebab terhalangnya seseorang untuk melakukan ibadah. Efek najis ini jika tidak segera dibersihkan dari anggota tubuh atau pakaian akan menyebabkan efek yang tidak baik. Misalnya: bisa menimbulkan penyakit tertentu, bau, kotor, tidak enak dilihat, dan lain-lain.

    Oleh sebab itulah sebagai seorang muslim ketika akan melakukan suatu ibadah seperti shalat atau akan thawaf hendaknya mensucikan dirinya terlebih dahulu. Bisa dengan mandi, berwudhu atau bertayammum.

    Macam – Macam Najis dan Cara Mensucikannya

    1. Najis Mughaladhah (najis berat)

    Najis mughaladhah ini adalah ketika seseorang bersentuhan atau terkena jilatan anjing dan babi, termasuk ketika terkena air liur ataupun darahnya.

    Cara mensucikan najis mughaladhah ini adalah dengan cara membasuh bagian tubuh yang terkena atau bersentuhan dengan anjing atau babi tersebut dengan air sebanyak tujuh kali, yang mana salah satunya adalah dengan debu.

    2. Najis Mutawasithah (najis sedang)

    Najis mutawasithah ini adalah najis yang tidak memberatkan juga tidak masuk najis yang ringan. Artinya najis ini adalah kotoran yang ada pada diri sendiri ataupun kotoran dari suatu hewan. Seperti, muntah, air kencing, tinja, dan kotoran-kotoran hewan.

    Najis mutawasithah inipun juga terbagi menjadi dua:

    Najis hukmiyah, yaitu najis yang tidak tampak tetapi diyakini ada, karena adanya zat, bau dan rasanya yang jelas. Contoh kecil ketika mendapati air kencing yang sudah kering. Cara mensucikannya adalah dengan menyiramnya dengan air yang suci

    Najis ‘ainiyah, yaitu najis yang secara kasat mata terlihat (baik zat, rasa, warna, dan bau). Cara mensucikannya dengan menghilangkan empat unsur najis (warna, bau, rasa, zat) tersebut atau menyiramkannya dengan air. Adapun ketika menghilangkan najis tersebut bau dan warnanya sulit dihilangkan, maka yang demikian bisa dimaafkan (di ma’fu)

    3. Najis Mukhaffafah (najis ringan)

    Najis mukhaffafah ini adalah najis yang disebabkan karena terkena air kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan atau minum apapun selain ASI (Air Susu Ibu). Cara mensucikan najis ini adalah dengan menyiramnya dengan air. Beda halnya untuk air kencing bayi perempuan, meskipun bayi tersebut belum makan dan minum apapun selain ASI, air kencingnya sudah dihukumi najis mutawasithah

    Membedakan Najis dan Hadats

    Ketika seseorang sedang dalam kondisi najis atau sedang dalam kondisi hadats. Tentu orang tersebut belum bisa beribadah secara sempurna karena ada halangan , oleh sebab itulah orang tersebut harus mensucikan dirinya lebih dulu.

    Memang agak susah-susah gampang membedakan antara hadats dan najis tersebut. karena kedua hal tersebut juga sama-sama berawal dari seseorang itu sendiri, tetapi untuk najis ini datangnya sering dari luar tubuh seseorang tersebut. Seperti najis mughaladhah, dan najis mukhaffafah.

    Atau jika kesulitan, kita bisa membedakannya dengan cara orang mensucikan kotoran (entah itu najis atau hadats) yang ada pada orang tersebut.

    Sumber:

    Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib (terj: Achmad Sunarto)

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai